ikatlah ilmu dengan menuliskannya"sanitomichie"

Thursday, June 14, 2007

Mengefektifkan Waktu,Meraih Prestasi...Yu...

Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi.


Mengefektifkan Waktu, Meraih Prestasi
Oleh K.H. ABDULLAH GYMNASTIAR

Maka, apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.(Q.S Alam Nasyrah [94]: 7-8)

MAHAPERKASA Allah Azza wa Jalla, Dzat yang memiliki segala keagungan, kemuliaan, keunggulan, dan segala kelebihan lainnya. Dzat yang Mahasempurna sifat-sifat-Nya, tiada satu kejadian pun yang terbebas dari kekuasaan-Nya. Allah, Dzat yang Mahaadil meningkatkan derajat siapa saja yang Dia kehendaki dan menghinakan siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Sahabat pembaca, sungguh betapa banyak orang yang cukup potensial, tetapi tidak bisa menjadi unggul. Salah satu sebabnya adalah karena ketidakmampuannya dalam mengelola waktu. Kita saksikan, betapa banyak orang yang mengeluh karena merasa tak pernah punya waktu, sedangkan beberapa orang yang lain selalu mencari jalan untuk membunuh waktu.

Padahal, salah satu kunci untuk menjadi pribadi unggul adalah kemampuan mengelola waktu. Secara syariat, waktu yang berjalan dalam sehari semalam itu adalah 24 jam. Masalahnya, seberapa besar seorang muslim mampu menggunakan waktu yang telah disediakan Allah tersebut? Dengan kata lain, seberapa mampu seorang muslim melakukan percepatan diri?

Mari kita ambil sebuah perumpamaan tentang lomba balap sepeda. Ketika pistol diletuskan, maka sekian banyak peserta pun mulai melajukan sepedanya dan adu cepat. Apa yang terjadi? Tampaknya peserta yang akan menjadi juara dalam balap sepeda tersebut adalah orang yang dalam detik yang sama bisa mengayuh sepedanya lebih kuat dan lebih cepat daripada yang dilakukan oleh peserta lain. Walhasil, dia pun akan melesat mendahului para pembalap yang lain. Betapa tidak! Ini dikarenakan energi yang dipergunakan dan ketepatan gerakannya lebih baik daripada detik yang sama yang dilakukan oleh peserta lain.

Dengan perumpamaan di atas, kita dapat menangkap makna, bahwa keunggulan itu pastilah akan sangat dekat dengan orang yang paling efektif dalam memanfaatkan waktunya. Waktu adalah modal kita, kehidupan kita. Maka, sungguh suatu kerugian yang sangat besar bila seorang hamba tidak dapat memanfaatkan waktunya dengan sangat baik dan optimal. Allah berfirman, "Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling nasehat-menasehati dalam menatapi kebenaran dan nasehat-menasihati dalam menetapi kesabaran" (Q.S al-Ashr: [103]: 1-3).

Allah pun telah mendisiplinkan kita agar ingat terhadap waktu minimal lima kali dalam sehari semalam, yakni waktu subuh, duhur, ashar, maghrib, dan isya. Belum lagi tahajud pada sepertiga akhir malam dan salat dhuha ketika matahari terbit sepenggalah. Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk selalu terkontrol dengan waktu yang ada.

Oleh sebab itu, bagi siapapun yang gemar menganggap remeh sang waktu, tampaknya tidaklah perlu bercita-cita setinggi langit. Ini karena kunci keunggulan seseorang itu justru terletak pada bagaimana dia mampu memanfaatkan waktu secara lebih baik daripada yang dimanfaatkan orang lain. Dua puluh empat jam adalah waktu sehari semalam yang sama diberikan kepada setiap orang. Dengan rentang waktu sepanjang itu sebagian orang ada yang mampu mengurus dunia. Sebagian yang lain malah bisa mengelola perusahaan raksasa dengan sukses. Bahkan, sebagian yang lainnya lagi sanggup mengurus berjuta-juta manusia.

Akan tetapi, ternyata ada juga sementara orang yang selama dua puluh empat jam tersebut mengurus diri sendiri saja tidak sanggup. Padahal, bukankah jatah waktu yang dimilikinya sama? Bila demikian halnya, maka jangan salahkan siapapun kalau kita tidak pernah merasakan gemilangnya hidup ini.

Hal pertama yang harus dicurigai adalah bagaimana komitmen kita terhadap waktu yang kita jalani ini. Hendaknya ikhtiar mengevaluasi diri menjadi bagian yang sangat dipentingkan di dalam kerangka agenda aktivitas hidup keseharian kita. Kalaulah kita termasuk orang yang sangat menganggap remeh atas berlalunya waktu, tidak merasa kecewa manakala episode pertambahan waktu itu tidak menjadi saat bagi peningkatan kemampuan diri, maka berarti kita memang akan sulit menjadi unggul dalam kancah pertarungan hidup ini.

Ingat, kita ini telah, sedang, dan akan senantiasa berpacu dengan waktu. Satu desah nafas adalah satu langkah menuju maut. Alangkah besarnya kerugian yang menimpa diri kita manakala bersamaan dengan banyaknya keinginan, melambungnya angan-angan dan cita-cita, serta berbuncah-buncahnya harapan untuk dapat menggapai sesuatu, namun tidak seraya meningkatkan kemampuan.

Padahal, setiap detik, menit, dan jam adalah peluang bagi peningkatan kemampuan dalam hal apapun yang secara sunnatullah kita berpeluang menggalinya. Adakah itu kemampuan dalam bidang keilmuan, kemampuan dalam hal pengembangan kepribadian diri, kemampuan dalam hal peningkatan kualitas ibadah, kemampuan mengelola kalbu, dan seterusnya. Barangsiapa yang dalam setiap waktu yang dilaluinya selalu berupaya meningkatkan kemampuan diri, niscaya tidak usah heran kalau Allah akan memberikan yang terbaik bagi si pelakunya. Insya Allah! Dialah Pemilik segala-galanya.

Sebaliknya, bagi siapapun yang di dalam dirinya tidak ada sedikit pun gejolak ingin peningkatan mutu hidup. Ibadah tidak semakin khusyuk dan ikhlas. Hati tidak semakin tertata baik. ilmu tidak semakin bertambah. Jangan heran, kalau yang tersisa hanyalah angan-angan belaka!

Waspadalah terhadap waktu! Setiap waktu yang dilalui harus kita perhitungkan dengan secermat-cermatnya. Harus membuahkan peningkatan kualitas diri. Pendek kata, kita harus berbuat lebih baik daripada yang dilakukan orang lain. Hendaknya kita tidak sekadar bekerja keras, tetapi yang jauh lebih baik adalah bahwa kita harus mampu bekerja keras dan cerdas sekaligus efektif!

Betapa banyak orang yang sibuk bekerja, namun seraya dengan itu dia pun sibuk dengan barang yang tertinggal, sibuk lupa, dan sibuk mencari sesuatu yang seharusnya tidak lagi dilakukan karena semuanya harus sudah siap. Tegasnya, banyak orang yang tampak sibuk, tetapi ternyata tidak efektif. Ada orang yang duduk di depan meja dengan maksud untuk belajar. Belum beberapa detik saja dia duduk, sudah disibukkan dengan mencari balpoin, sibuk mencari buku yang lupa meletakkannya, sibuk menjerang air untuk ngopi, dan lain sebagainya. Memang dia telah duduk selama dua jam menghadapi meja, tetapi ternyata tidak menghasilkan apa pun. Mengapa demikian? Semua ini karena dia tidak mampu mengefektifkan waktu.

Untuk menjadi seorang yang efektif dalam mengatur waktu, kita memang harus adil dalam membaginya. Ada hak untuk belajar, hak membantu orang tua, hak untuk beribadah, hak untuk peningkatan kemampuan diri, hak untuk melakukan evaluasi, hak untuk beristirahat, hak untuk melakukan rekreasi; semua harus dibagi secara adil. Sibuk dan hebatnya belajar, misalnya, tetapi tanpa dibarengi dengan istirahat, bahkan tanpa diiringi dengan mantapnya ibadah kepada Allah, semua itu hanya menunggu waktu yang suatu saat akan menjadi bumerang yang berbalik menyerang kita. Wallahua'lam.***

Myspace Extended Network Banners

Myspace Network Banners

Myspace Codes

"Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu kebahagiaan yg lain akan terbuka. tetapi acapkali kita hanya terpaku terutama pada pintu yg tertutup sehingga kita tidak melihat pintu lain yg dibukakan untuk kita".(Anonymous)

Rahasia Sebuah Nama

Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi.


Rahasia Sebuah Nama
Oleh : Eman Sulaiman
Beberapa waktu lalu, saya melihat seorang teman kantor yang sedang hamil membuka-buka internet (nge-browsing). Selama ini jarang sekali saya melihat dia bermain-main dengan internet. “Wah, tumben nih buka-buka internet, cari apaan?,” tanya saya. “Ini Kang, saya sedang cari nama-nama bayi untuk anak saya!,” jawabnya sambil tersenyum. “Udah dapat?,” tanya saya lagi. “Teu acan aya nu cocok, (belum ada yang cocok),” jawabnya. Setelah itu saya memberi tahu si Teteh teman saya tadi beberapa referensi tentang nama-nama anak!

Nama. Inilah satu kata yang selalu dimiliki setiap benda. Ia adalah simbol atau identitas di mana manusia dapat mengidentifikasikan objek-objek yang ada di sekitarnya. Dengan nama pula, seseorang dapat membedakan suatu benda dengan benda lainnya, atau antara dirinya dengan hal-hal yang bukan dirinya.

Dalam sebuah nama terkandung sekumpulan informasi tentang identitas orang yang memilikinya, entah itu jenis kelamin (gender), suku bangsa, kepribadian, agama, latar belakang keluarga, pandangan hidup, status sosial, budaya, dan lainnya. Walau tidak mencakup semua informasi ini, sebuah nama pasti mengandung minimal sebuah informasi tentang identitas diri. Nama Siti Yanuarti misalnya. Orang yang memiliki nama ini pasti seorang wanita, beragama Islam, orangtuanya mungkin taat beribadah, lahir bulan Januari, dan lainnya. Demikian pula dengan nama Alesandro Lucatelli, Mike Tyson, Jacky Chan, Abdullah bin Idrisi al-Maghribi, dan lainnya. Dalam nama tersebut pasti ada satu dua hal yang menginformasikan jati diri pemiliknya.

Karena itu, pertanyaan retoris dari Juliet: “What’s the meaning in a name? Apalah arti sebuah sebuah nama?”—seperti diungkapkan William Shakespeare dalam novelnya Romeo & Juliet—tidak lagi tepat untuk memberi kesan bahwa nama itu tidak atau kurang penting.

Kenyataannya, nama tidak saja sebagai identitas diri, lebih jauh lagi, nama bisa membentuk rasa percaya diri bahkan konsep diri seseorang. Ada orang yang tidak pede dalam bergaul, minder, atau menyalahkan orangtua mereka karena masalah nama. Mereka merasa kikuk dengan nama yang mereka sandang, walaupun nama tersebut memiliki makna yang baik, hanya karena “sedikit kampungan”. Saat memperkenalkan diri dalam seminar, saat dipanggil dokter di ruang tunggu, saat berkunjung ke rumah calon mertua, saat dipanggil teman di keramaian, biasanya menjadi momentum yang kurang mengenakkan. Bahkan tak jarang, ketika harus menyebutkan nama, biasanya nama tersebut sering disamarkan atau hanya disebutkan nama belakangnya saja (duh pengalaman!).

Biasanya orang seperti ini berasal dari desa atau daerah, yang karena satu dua hal “tersasar” ke kota, entah itu karena kuliah, bekerja, dsb. Ingin rasanya mereka mengganti namanya dengan yang lebih nge-trend dan lebih kosmopolitan. Sayangnya, nama tersebut sudah kadung tertera di ijasah, akta kelahiran, atau sebagai rasa penghormatan kepada orangtua yang telah memberikan nama, sehingga mereka menunda keinginan tersebut.

Menurut pandangan Islam, kita tidak layak menjadi minder, rendah diri, atau malu hanya karena sebuah nama. Kita layak malu kalau kelakuan kita menyebalkan orang lain. Meskipun demikian, Islam menekankan agar pemeluknya memiliki nama-nama yang indah. Rasulullah Saw menganjurkan para orangtua untuk memberikan nama yang baik lagi indah untuk anak-anaknya. Bukankah nama adalah sebuah doa juga ungkapan cinta? Di mana seseorang akan tertantang untuk berperilaku sesuai nama yang dimilikinya.

Dari sini, saya bisa memahami kebingungan si Teteh tadi dalam mencarikan nama yang cocok untuk calon bayinya. Memang, memberi nama anak gampang-gampang susah.

Ada beberapa kriteria dalam kita memberikan nama pada anak. Pertama, nama anak harus memiliki makna yang baik. Baiknya arti sebuah nama bisa disebabkan karena di dalamnya terkandung doa, pujian, dan harapan dari orangtua. Kedua, nama anak harus memiliki nilai bunyi yang manis, ritmis, estetis, merdu, sehingga enak didengar. Ketiga, nama harus mencerminkan aspek kemaskulinan dan kefemininan. Keempat, nama anak hendaknya mencerminkan sesuatu yang monumental. Sebagai cerminan cinta, nama anak bisa merupakan perpaduan antara nama kedua orangtuanya, setting ketika ia dilahirkan, atau peristiwa yang mengesankan.

Intinya, nama yang baik adalah nama yang memancarkan nilai-nilai kehidupan. Ia merupakan paduan harmonis makna yang dalam dan nilai sastra yang tinggi. Ia harus mengandung doa dan harapan suci, menggairahkan semangat juang yang melahirkan kecintaan pada kebenaran, memotivasi pemiliknya menjadi insan berakhlak mulia lagi berilmu.

Bagi yang sudah terlanjur memiliki nama yang kurang indah dan kurang bermakna, jangan bersedih, indahkan dan maknai namamu dengan akhlak mulia. Bagi yang memang namanya sudah indah, maka makin perindah ia dengan akhlak mulia pula. Setuju? ■

Keindahan Tobat.................................................................

Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi.

"Cinta itu indah, karena ia bekerja dalam ruang kehidupan yg luas, dan inti pekerjaannya adalah memberi. Memberi apa saja yg diperlukan oleh org2 yg kita cintai utk tumbuh menjadi lebih baik dan berbahagia karenanya" (Anis Matta)

Keindahan Tobat
Oleh K.H. ABDULLAH GYMNASTIAR

SEMOGA Allah yang Mahatahu setiap aib (kejelekan, kekurangan, dan kemaksiatan yang kita lakukan), menolong diri kita untuk berani mengakuinya. Karena orang tidak akan selamat kecuali karena ampunan Allah. Bahkan, kalau mau digabung-gabungkan kebaikan kita, satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipat, satu kejelekan balasannya sesuai dengan kejelekan itu.

Allah mengajarkan kita cara bertobat sebagaimana tercantum dalam Alquran, "Ya Tuhan kami, kami telahmenganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami, niscaya, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (Q.S. al A'raaf [7] :23).

Salah satu syarat tobat adalah menyesal. Akan tetapi, orang tidak akan pernah menyesal kalau dia tidak pernah tahu bahwa dia telah melakukan kesalahan. Oleh karena itu, beruntunglah orang-orang yang menyadari bahwa dirinya banyak dosa. Keadaan ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan orang yang merasa dirinya telah banyak beramal. Ketika orang merasa sedih dan pilu saat melihat kejelekan dirinya sendiri, itu lebih utama daripada orang yang sombong sehingga ia sangat optimis bisa menjadi ahli surga.

Rezeki terbesar dari Allah adalah ketika kita mulai berani jujur melihat kekurangan diri sendiri. Kehati-hatian untuk tidak mudah menilai orang lain, banyak memperbaiki diri, kemudian menangis dan bertobat, adalah sikap yang lebih baik dilakukan daripada menjadi ahli masjid, tetapi bersikap ujub dan takabur karena amalan-amalannya.

Kesungguhan kita bertobat insya Allah menjadi bagian dari rezeki yang besar dari Allah SWT. "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga..." (Q.S. Ali Imran [3]:133).

Ciri-ciri tobat nasuha.

1. Menyesal.

Adanya penyesalan setelah melumuri diri dengan dosa dan kenistaan; adanya penyesalan setelah berbicara kotor; penyesalan ketika mata melihat kemaksiatan; penyesalan ketika menyakiti orang, adalah sikap-sikap yang menunjukkan adanya kecenderungan tobat nasuha. Orang yang tidak menyesal, tidak termasuk tobat. Orang yang bangga pada dosa-dosa yang pernah dilakukannya, menunjukkan bahwa dia belum sungguh-sungguh bertobat.

2. Memohon ampun kepada Allah.

Memohon ampun kepada Allah bisa dilakukan dengan cara mengucapkan istigfar sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Adam as dan Nabi Yunus as di dalam Alquran. Di samping itu, memohon ampun harus dilakukan secara sungguh-sungguh dari hati yang paling dalam. Inilah salah satu tanda orang yang bersungguh-sungguh dalam tobatnya. Begitu pula dengan ungkapan sedih, derai air mata, dan menggigilnya perasaan adalah ekspresi dari penyesalan yang mendalam.

3. Gigih untuk tidak mengulangi.

Bukan sekadar tidak berbuat dosa, berpikir ke arah sana saja tidak boleh. Memang, kita dikaruniai kecenderungan untuk berbuat hal-hal yang negatif. Akan tetapi, bukan berarti harus dituruti. Namun, untuk dihindari, karena itulah yang akan membuat kita mendapatkan ganjaran dari Allah SWT.

Ciri tobat yang diterima.

Menurut Imam Al Ghazali dalam kitab "Muqasysyafatul Qulub", ada beberapa ciri yang menunjukkan tobat seseorang diterima, di antaranya.

1. Orang tersebut terlihat lebih bersih dan lebih terjaga dari perbuatan maksiat. Hal itu terjadi karena dia lebih bisa menahan diri. Dia seolah-olah mempunyai rem yang pakem. Rem ini seakan membuat dirinya terhalang dari perbuatan dosa.

2. Orang yang tobatnya diterima, hatinya selalu lapang dan gembira. Dia merasakannya baik dalam keadaan sendiri maupun ramai. Hati orang ini dihibur oleh Allah sehingga jernih dan lapang.

3. Dia selalu bergaul dengan orang-orang saleh dan mencari lingkungan yang baik pula. Orang yang sudah bertobat, namun masih kembali ke lingkungan yang tidak baik berarti dia belum sungguh-sungguh melakukan tobat. Lain halnya jika ia kembali ke lingkungan yang sama dengan niat untuk mengubah lingkungan itu. Mencari lingkungan yang baik adalah salah satu bagian yang akan membuat agama kita terpelihara.

4. Kualitas amalnya semakin meningkat. Selain menahan diri dari perbuatan maksiat, dia juga semakin meningkatkan kualitas salatnya, saumnya istikamah, malamnya dihidupkan dengan tahajud, dan sedekahnya terus meningkat. Inilah ciri orang yang tobatnya diterima.

5. Dia senantiasa menjaga lidahnya. Dia juga sangat serius dalam menata amal-amalnya. Semakin hari, kualitas amalnya semakin terus bergerak ke arah yang lebih baik. Dia memiliki kualitas pengendalian lisan dan pikiran dengan baik. Ingatannya selalu kembali kepada Allah. Hal itu dia lakukan secara maksimal sehingga cinta dan kerinduannya kepada Allah semakin menggebu.

Jadi, kalau saat ini kita masih senang melakukan maksiat; mulut kita sering menyakiti, tidak memilih pergaulan yang lebih terpelihara, hati selalu resah dan gelisah terhadap urusan dunia, jarang mengingat Allah, dan kualitas amal merosot, itu bisa jadi berarti, tobat kita baru sekadar tobat "sambal", artinya kita menyesal, tetapi hanya sekadar penyesalan yang emosional; belum sampai pada derajat takut kepada Allah. Na'udzubillahimindzalik. ***pikiran rakyat.

Ya.......Allah,Aku menyesal dan aku bertobat,tobatan nasuha.Amiin
ilmu adalah investasi tiada henti