ikatlah ilmu dengan menuliskannya"sanitomichie"

Monday, May 14, 2007

Muhammad Dalam Perspektif Al-Quran ( Bag 3)

Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi.

Muhammad dalam Perspektif Al-Qur'an (Bag 3)

Oleh : Al Birruni Siregar*)

Muhammad dalam Perspektif Al-Qur’an

4. Nabi yang Rahmatan Lil Alamin

Inilah yang menjadi titik perbedaan antara Nabi Muhammad s.a.w dengan nabi dan rasul pendahulunya. Bahwa nabi-nabi yang diutus sebelum turunnya risalah terakhir (Al-Qur’an), mereka diutus hanya untuk kaumnya saja, sedangkan Muhammad Khatamul Anbiya’ s.a.w diutus oleh Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Rahmatan lil ‘Aalamin, penebar rahmat dan panutan (uswatun hasanah) bagi seluruh umat manusia. “Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘aalamiin”; ”Dan tidaklah Aku mengutusmu (wahai Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam”(QS.Al-Anbiya’:107).

Karakter khas dari Nabi Muhammad s.a.w ini dapat dijumpai pada QS.Al-Fath: 29.

Muhammadur-rasuulullahi walladzina ma’ahu asyiddaa-u ‘alal kuffari ruhamaa’u baynahum”

Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengannya adalah orang yang keras terhadap orang-orang kafir, (namun) berkasih sayang sesama mereka”.

Adapun rahmat terkhusus yang telah Allah berikan kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah sifatnya yang lembut terhadap orang-orang mukmin. “Bilmukminiina rauufur rahiim”; “(Dan dia Muhammad) terhadap orang-orang yang beriman bersikap lembut lagi penuh kasih sayang”. (QS.At-Taubah:128).

Fabimaa rahmatin minallahi linta lahum. Walaw kunta fadzh-dzhan ghaliidzhal qalbi lanfandh-dhuu min hawlik. Fa’fu ‘anhum”

Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka” (QS.Ali Imran:159).

Seperti dalam hal ibadah, beliau tidak ingin memberatkan umatnya dalam hal mengerjakan amal ibadah. Sebagaimana kisah dalam sebuah hadits: Suatu ketika datang tiga orang sahabat mengunjungi rumah-rumah istri-istri nabi s.a.w, menanyakan perihal ibadah nabi. Ketika istri-istri itu bercerita tentang realita dan cara ibadah Nabi, mereka (tiga sahabat ini) terheran-heran, karena ibadah nabi ternyata tidak sebanyak yang mereka bayangkan”. Lalu mereka berkata: “Kita ini apa dibandingkan nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau telah diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dosa-dosa yang telah berlalu maupun yang akan datang”. Kemudian mereka membuat opsi masing-masing untuk mengerjakan amal ibadah. Salah satu dari mereka berkata: “Aku akan melakukan shalat semalam suntuk selamanya”. Lalu yang lain berkata: “Aku akan puasa sepanjang masa, dan tidak akan berhenti (berbuka). Sedangkan yang lain lagi berkata: “Aku akan menjauhkan diri dari perempuan dan aku tidak akan menikah sepanjang hidupku”. Kemudian datanglah Rasul kepada mereka seraya menegur mereka: “Antumulladziina qultum kadza wa kadza? Amma wallahi inni la akhsyaakum lillahi wa atqaakum lahu, lakinnii ashuumu wa ufthiru, wa ushalli wa arqudu, wa atazawwajun-nisaa’a. Faman raghiba ‘an sunnatii falaisa minni”

Kaliankah yang mengatakan begini dan begitu? Ketahuilah, bahwa aku (Muhammad) adalah orang yang paling takut kepada Allah diantara kamu dan yang paling bertakwa, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku menegakkan shalat dan tidur, dan aku menikahi perempuan. Maka barang siapa yang benci akan sunnah-ku, maka tidaklah ia termasuk golonganku”(Hadits Muttafaq ‘Alaihi).

Itulah salah satu bukti dari dakwah Muhammad s.a.w yang bersendikan rahmatan lil ‘aalamin, mengedepankan rasionalitas dan kemanusiaan, mementingkan kualitas ibadah, daripada kuantitasnya, yang semua itu berjalan di atas “rel” sunnatullah, yang senantiasa mempertimbangkan kodrat dan potensi manusia.

Sedangkan dalam hal menerapkan hukuman (sangsi), beliau Shallallahu ‘alahi wa Sallam bukanlah pribadi yang gegabah dan eksekutor yang kejam. Beliau senantiasa melakukan investigasi yang runtut dan menilik sebab dengan cermat. Sekali lagi, proporsi rahmat dalam hal ini menempati peringkat utama dalam beliau merealisir sangsi kepada siapapun juga yang melanggar tatanan agama.

Seperti kebijakan beliau dalam menerapkan hukuman zina bagi pelaku yang mengakui perbuatannya, yang dapat kita jumpai dalam berbagai hadits shahih. Hadits yang paling populer adalah kisah seorang wanita Ghamidy yang sedang hamil akibat berzina. Suatu ketika ia datang kepada Nabi s.a.w mengakui apa yang telah diperbuatnya dan berharap dengan penuh harapan agar Nabi sudi merajamnya dengan bebatuan hingga maut menjemputnya. Lalu Nabi menangguhkannya sampai ia melahirkan bayi yang ada di dalam kandungannya. Setelah tuntas dirinya melahirkan jabang bayi dari rahimnya, perempuan itu kembali mendatangi Nabi dengan permintaan yang sama seperti saat pertama kali ia datang. Kemudian Nabi kembali menangguhkannya seraya mengatakan: “Sapihlah bayimu itu hingga dua tahun”. Hingga ketika tiba waktunya Khalid bin Walid hendak merajamnya, Rasulullah mencegahnya sembari berkata: “Tenanglah wahai Khalid, sesungguhnya wanita itu telah bertaubat dari kesalahannya, jika engkau takut akan reaksi penduduk Madinah (akan hal ini), aku akan luluhkan hati mereka”.

Inilah sebuah kesaksian, bahwa Nabi Muhammad tidaklah menerapkan hukum dengan tergesa-gesa, beliau selalu mempertimbangkan sisi lain dari sekedar kesalahan dan dosa yang telah diperbuat umatnya. Beliau selalu menempatkan logika akal sehat dan memperhitungkan sisi psikologis dari si pelaku dosa tersebut, sekalipun umatnya mengerjakan dosa besar. Dalam kasus tersebut di atas, tampak jelas bahwa wanita yang berzina tadi pada dasarnya hatinya begitu kaya keimanan, akan tetapi jiwanya tergoncang lemah pada saat itu, dan kakinya terperosok pada lembah dosa. Maka layaklah ia mendapatkan rahmat Nabi. Karena sudah menjadi tabiat Nabi Muhammad s.a.w, berlemah lembut dan berkasih sayang terhadap orang-orang yang beriman.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Laqad jaa-akum rasuulun min anfusikum ‘aziizun ‘alaihi maa ‘anittum hariishun ‘alaikum bilmukminiina ra’uufur rahiim” ; “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat rasanya olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselematan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman”(QS.At-Taubah:128).

Itulah diantara samudera akhlak yang dimiliki oleh seorang Muhammad s.a.w, sosok yang jujur, terpercaya, tegas dan cerdas, yang telah mendapat kedudukan yang istimewa di sisi Allah. Namanya bersanding dengan nama Tuhan semesta alam dalam dua kalimat syahadat, sebagai gerbang persaksian dan identitas keislaman setiap hamba.

Keikhlasannya dalam mengentaskan segala bentuk kezaliman, memancing gairah para penyair untuk menghadirkan sosoknya dalam untaian sajak-sajak yang indah. Sebagaimana sepotong sajak Amir Muhammad Buhairi, dalam karyanya “Raj’atul Hadi” (Kembalinya Sang Pembawa Hidayah):

Law raja’al haadi ila qawmihi Lakaana hadzal ‘ashru azhal ‘ushuur,

Yuthlaqu fiihil haqqu min sijnihi Fayamla’ul kauna jamaalun wa nuur”

Andaikan saja Al-Hadi (Muhammad s.a.w) pulang kembali di tengah kaumnya, niscaya zaman ini akan menjadi zaman yang paling mengagumkan. Ketika kebenaran dibebaskan dari penjaranya, maka dunia ini akan terisi oleh keindahan dan cahaya”.

Allahu A’lam bis-shawab.

*)Mahasiswa Fak.Theologi Islam, Dept.Tafsir dan Ulumul Qur’an, Univ.Al-Azhar, Cairo.

dikutip dari cybermq tanpa ijin

Muhammad Dalam Perspektif Al-Quran (Bag 2)

Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi.

Muhammad dalam Perspektif Al-Qur'an (Bag 2)

Oleh : Al Birruni Siregar*)

2. Manusia yang Berakhlak Mulia

Nabi Muhammad adalah seseorang yang Allah telah menumbuhkannya dalam perkembangan yang sehat, dan kedewasaan yang memikat, sarat akan kepribadian yang tangguh serta perangai mulia yang tiada tandingannya. Seluruh jejak langkahnya, tutur katanya, tindak tanduknya, dan sikap serta tingkah lakunya mencerminkan sebuah keagungan akhlak yang tiada dapat disepadankan dengan sosok atau tokoh siapapun juga.

Kejujurannya dalam bertutur lisan, menyebabkan masyarakat pada saat itu menjulukinya dengan gelar Al-Amin (yang terpercaya). Sebuah sebutan yang sangat sulit untuk disematkan pada seseorang di tengah gejolak perabadan yang sangat terbelakang dan kejahiliyahan yang merajalela. Hingga seorang Abu Lahab-pun, sebagai musuh umat Islam nomer wahid pada saat itu, harus mengakui keluhuran dan kejujuran akhlak seorang Muhammad s.a.w. Hanya faktor kedengkian dan gengsi yang membumbung tinggi yang menyulut sikap apriori pada diri seorang Abu Lahab, menyebabkan ia enggan mengikuti dakwah Muhammad s.a.w, seorang Nabi dan Rasul pembawa risalah pamungkas untuk seluruh alam.

Hal itulah yang membuat seorang Heraclus, raja Romawi saat itu, patah arang ketika ia bertanya kepada Abu Sufyan tentang Muhammad s.a.w. Suatu ketika Heraclus bertanya pada Abu Sufyan: “Apakah dia (Muhammad) pernah berkhianat?”, lalu Abu Sufyan menjawab: “Tidak, ia tidak pernah sekalipun berkhianat”. Sehingga tidak ada lagi sebuah siasat bagi penolak dakwah Rasulullah ketika itu kecuali dengan menyebarkan fitnah dan tuduhan palsu, seperti: Muhammad s.a.w adalah seorang tukang sihir, penyair dan pendongeng sejati, serta paranormal dan dukun ramal.

Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menangkis tuduhan-tuduhan palsu mereka, dan mengabarkan pada mereka akan hakikat yang sebenarnya:

Falaa uqsimu bimaa tubshiruun. Wa maa laa tubshiruun. Innahu laqawlun rasuulun kariim. Wamaa huwa biqawlin syaa’irin, qaliilan maa tu’minuun. Walaa biqawlin kaahinin qaliilan maa tadzakkaruun. Tanziilun min Rabbil ‘aalamiin”.

Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan Al Qur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam”(QS.Al-Haaqqah:38 – 43).

Wa maa ‘allamnaahusy-syi’ra wamaa yanbaghii lah. Inhuwa illa dzikrun waqur’aanun mubiin. Liyundzira mankaana hayyan wa yahiqqal qawlu ‘alal kaafiriin”

Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya, Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir”(QS.Yaasin:69-70).

3. Nabi yang Umi

Nabi Muhammad s.a.w adalah seorang dari kaum yang ummi (ummiyyin). Umi yang dalam literatur Arab diartikan sebagai orang yang tidak menulis dan tidak membaca. (Akhlaq Ar-Rasul Al-Karim, Syeikh Abdul Muhsin ibn Hamdil Abbad Al-Badr, Daarul Imam Ahmad, Kairo).


Sebagaimana yang terdapat dalam QS.Al-Jumu’ah: 2 :

Huwalladzii ba’atsa fil ummiyiina rasuulan minhum yatluuna ‘alaihim aayaatihi wayuzakkiihim wa yu’allimuhumul kitaaba wal hikmata wa inkaanu min qablu lafii dhalaalin mubiin”

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.

Sementara Nazmi Lukas, seorang Arab-Kristen Koptik, dalam karyanya “Muhammad fi Hayaatihi al-Khashshah” (Maktabah Gharib, Mesir, 1981), berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ummiyyin (kaum ummi) adalah umat-umat selain bani Israil. Bani Israil telah mengaku sebagai bangsa yang terpilih serta satu-satunya bangsa yang mendapat petunjuk dan anugerah kenabian, sedangkan bangsa lainnya umamiyyun atau ummiyyun, yang tidak mendapatkan hidayah dan anugerah kenabian. Oleh karena itu, ayat ini (QS.Al-Jumu’ah: 2) turun untuk menegaskan rahmat yang diberikan Allah kepada bangsa ummiyyun, yakni dengan diutusnya seorang rasul dari kalangan mereka, yang menyampaikan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Dalam buku yang sama Nazmi Lukas mengatakan bahwa tidak setiap orang yang ummi adalah orang bodoh dan tidak setiap orang bodoh adalah ummi. Orang yang ummi adalah orang yang tidak dapat membaca dan menulis, sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengetahui sesuatu yang seharusnya ia ketahui. Tidak semua ilmu berkaitan dengan bacaan dan tulisan, dan tidak semua bacaan dan tulisan adalah ilmu yang menjadi tanda bodohnya seseorang yang tidak membaca dan menulis.

Setelah sebuah kenyataan tentang nabi Muhammad yang ummi tertera dalam QS.Al-Jumu’ah: 2, Allah menurunkan firman QS.Al-Isra’:88:

Qul la inijtama’atil insu wal jinnu ‘ala an ya’tuu bimitsli haadzal Qur’aan laa ya’tuuna bimitslihi walaw kaana ba’dhuhum liba’dhin dzahiira”.

Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.

Seiring dengan munculnya Muhammad s.a.w dengan sifat ini (ummi), mematahkan tuduhan-tuduhan palsu yang dilancarkan oleh kaum kafir atas apa yang telah diucapkan oleh Nabi Muhammad, berupa cerita-cerita dongeng nan fiktif, atau hikayat serta legenda yang imajinatif belaka. Sebagaimana firman Allah dalam QS.Al-Ankabut: 48


Wamaa kunta tatluu min qablihi min kitaabin walaa takhuttuhu biyamiinika idzan lartaabal mubthiluun”

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)”.

Ayat ini menjadi bukti simbolis bahwa tuduhan-tuduhan orang-orang kafir pada saat itu bermotif sentimentil dan tendensius. Mereka akhirnya terjebak pada kebohongan yang mereka kobarkan sendiri. Bagaimana seorang Muhammad s.a.w bisa mengucapkan kabar dengan untaian kalimat yang indah nan memikat, sedangkan ia bukan seorang penyair, dan ia bukan pula seorang yang mampu membaca dan menulis? Maka terkuaklah kebatilan tipu daya mereka. Sedangkan kesejatian ayat-ayat Allah telah menjadi saksi dan mukjizat yang kokoh, yang mampu mematahkan claim-claim negatif kaum musyrikin terhadap diri Muhammad s.a.w, sosok nabi yang kehadirannya menjadi penyejuk bagi alam semesta. (bersambung...)

Muhammad Dalam Perspektif Al-Quran (Bag 1)

Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi.

Muhammad dalam Perspektif Al-Quran (Bag 1)

Oleh : Al Birruni Siregar*)

Muhammad s.a.w lahir di tengah keluarga besar Bani Hasyim yang sangat terhormat di kota Makkah. Beliau lahir saat mentari terbit pada hari Senin, hari kesembilan dari bulan Rabi’ul Awwal, pada permulaan tahun Gajah. Dinamakan tahun Gajah, karena sejarah mencatat sebuah prahara yang cukup besar yang dipicu oleh pasukan Abrahah berkendarakan gajah yang menyerang kota Makkah yang hendak meluluhlantakkan bangunan Ka’bah di awal tahun itu. Peristiwa ini termaktub di dalam QS.Al-Fiil. (Ar-Rahiq Al-Makhtum, Syeikh Shafiyyu Rahman Al-Mubarakfuri).

Sedangkan Ibnu Hisyam, dalam As-Sirah An-Nabawiyah, mengutip pendapat Ibnu Ishaq bahwa Muhammad s.a.w lahir pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal, tahun Gajah atau bertepatan pada tanggal 20 atau 22 April 571 M, sebagaimana ditetapkan oleh ilmuwan tersohor Muhammad Sulaiman Al-Mansurufauri Rahimahullah.

1. Nabi yang Terlahir Yatim

Sudah 1436 tahun berlalu suatu momen yang menghadirkan seorang anak manusia ke permukaan bumi, yang terlahir dalam keadaan yatim tak berayah, dan tak lama kemudian, kasih sayang ibu serta belaian lembut dan pelukan hangatnya harus berakhir di saat umurnya belum genap enam tahun. Dia-lah Muhammad s.a.w, yang tumbuh dewasa di bawah asuhan sang kakek tercinta Abdul Muthallib, yang kemudian sepeninggalnya, beralih dalam naungan Abu Thalib, sang paman yang bijaksana.

Muhammad s.a.w, yang tidak sempat mengenal ayahnya sendiri dan tak lama merasakan kebahagian bersama ibunya, tidak menyebabkannya frustasi dan kehilangan kendali. Ia tumbuh dewasa dengan sifat tawadhu’, berakhlak terpuji serta jauh dari sifat-sifat yang tercela, seperti takabbur, ujub, zalim dan sebagainya.

Keadaan itu terukir dalam untaian ayat Al-Qur’an dalam QS.Adh-Dhuha: 6 – 8 ;

Alam yajidka yatiiman fa aawaa. Wa wajadaka dhaalan fahadaa. Wa wajadaka ‘aailan fa aghnaa”.

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bimbang, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan”(QS.Adh-Dhuha: 6 – 8).

Kemudian hal itu semua menjadikan pribadi Muhammad s.a.w teguh pendirian, peduli terhadap sesama, dan berkasih sayang terhadap anak-anak yatim dan orang-orang miskin, serta senantiasa mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firmanNya:

Fa ammal yatiima falaa taqhar. Wa amma saaila falaa tanhar. Wa Amma bini’mati Robbika fahaddist”

Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur) (QS.Adh-Dhuha: 9 – 11).

Inilah sebuah tarbiyah Ilahiah (pendidikan dari Tuhan) yang Allah anugerahkan kepada Nabiyyur-Rahmah (sang nabi yang menebarkan rahmat), yang diungkapkanNya dalam kitab suci, sebagai peringatan bagi hamba-hambaNya yang beriman agar dapat membawa diri mereka ke sifat-sifat yang mulia dan sebagainya, sebagai wujud syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas taufikNya berupa hidayah setelah dhalalah (kesesatan), dan kekayaan yang memadai setelah kefakiran yang penuh derita, serta segala nikmat yang tak terhingga menaungi keberadaan mereka.

Inti sari dari makna ayat tersebut di atas: Janganlah bersikap kasar terhadap anak-anak yatim, sebab dahulu engkau adalah anak yatim, dan engkau tidak suka diperlakukan sewenang-wenang. Dan janganlah menghardik orang-orang fakir, karena dahulu engkau seorang yang fakir, dan engkau tak sudi dicela oleh orang lain. Dan tidak diragukan bahwa manusia yang selalu ingat akan nikmat Tuhannya, niscaya akan mengalami kemajuan yang berkesinambungan dalam kebaikan dan tercegah dari kejahatan lagi nasib buruk, bagi yang Allah kehendaki.

*)Mahasiswa Fak.Theologi Islam, Dept.Tafsir dan Ulumul Qur’an, Univ.Al-Azhar, Cairo.

Berlomba-lombalah Kamu Dlam Kebaikan (Bag 1)

Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi.

Berlomba-lombalah dalam Kebaikan (Bag. 1)

Oleh : Rahmat Hidayat Nasution

Berlomba-lombalah dalam Kebaikan

Rasulullah Saw bersabda, “Bersegeralah kamu beramal saleh, karena akan datang (terjadi) fitnah-fitnah seperti serpihan malam gulita, di mana seseorang pada pagi hari beriman, namun sore harinya kafir, sore hari beriman pada pagi harinya kafir. Ia rela menjual agamanya dengan harta benda dunianya.”

Adalah menjadi perhatian penting bagi kita untuk merenungkan dan menangkap pesan Rasulullah Saw. yang termaktub dalam hadits di atas, tentang fitnah besar yang akan terjadi dan bakal menggoncang kehidupan manusia. Karena begitu dahsyatnya goncangan fitnah itu, sampai menyentuh “teritorial” keimanan. Bahkan divisualisasikan seorang mukmin akan dapat berubah ideologi agamanya dalam sehari, pagi beriman sore hari kafir, sore hari beriman pagi hari menjadi kafir. Agaknya goncangan-goncangan itu mulai tampak tanda-tandanya dalam kehidupan kita dewasa ini, walaupun belum begitu menyentuh substansi yang dimaksud, atau bahkan mungkin sudah.

Betapa telah kita baca di media masa tentang kondisi pada sementara masyarakat Indonesia saat ini yang tiba-tiba berubah menjadi brutal dan ganas, dikarenakan hanya isu yang tak jelas sumbernya. Atau kita baca berita menyedihkan tentang saudara-saudara kita di Sidoarjo yang hampir genap setahun terkena bencana lumpur Lapindo, yang sampai saat ini belum mendapatkan ganti rugi atas hilangnya tempat tinggal dan juga mata pencaharian mereka. Ironis sekali kehidupan mereka hingga datang ke Jakarta menemui Presiden SBY dengan harapan dapat membantu mereka untuk mendapatkan hak-hak yang semestinya mereka terima.

Memperhatikan pesan Rasulullah Saw. melalui hadits di atas, langkah yang patut dilakukan pada saat kondisi seperti itu adalah berlomba-lomba dalam beramal saleh dan kebaikan. Dengan cara mengingatkan masyarakat akan pentingnya mencegah terjadinya kerusakan-kerusakan dalam kehidupan, yaitu dengan tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis yang dapat menghilangkan nyawa. Langkah ini penting untuk kita tindaklanjuti sebagai upaya antisipasi agar kondisi yang semakin carut-marut itu tidak menjadi lebih parah, apalagi sampai menjadi fitnah agama yang sangat membahayakan.

Bertindak secara bijaksana dan memperbanyak amal saleh sebagai salah satu antisipasi yang dapat dilakukan dengan kemampuan dan kedudukan masing-masing. Yang terpenting adalah, adanya wujud kesadaran dan kepedulian yang setara antar sesama muslim sehingga tidak terjadi ketimpangan dan keganjalan.


Agar terciptanya kondisi yang kondusif, maka yang terpenting saat ini adalah mensosialisasikan pesan moral yang termaktub dalam surat Al-‘Ashr. Allah Swt. berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman da mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati agar mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati agar selalu bersabar.“

Berdasarkan ayat di atas, ada tiga hal penting dan tak pelak lagi harus dilakukan oleh manusia, yaitu berpegang teguh pada keimanan, memperbanyak amal saleh, nasehat-menasehati agar tetap selalu dalam kebenaran dan kesabaran. Sebagai orang muslim, kita sangat dituntut untuk mampu melaksanakan pesan yang termaktub dalam Kalam Allah di atas, bahkan kita harus menjadi pelopor untuk mengajak manusia kembali kepada ajaran agama, agar kita tidak termasuk orang-orang yang merugi. Sungguh tepat apa yang ditulis ‘Aid bin Abdullah al-Qorny dalam bukunya “Hatta Takuna As’ad an-Nas”, bahwa kebahagian itu adalah ketika kita mampu melerai perpecahan, menghilangkan sikap saling memusuhi, aktif beramal saleh, dan menjauhkan diri dari keinginan syahwat yang menggebu-gebu.

Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa berbuat kebaikan dan melakukan amal saleh dapat dilakukan dengan berbagai media dan kesempatan menurut kemampuan masing-masing. Jika kita hanya mampu menyumbangkan pikiran, maka kemampuan ini harus dapat dioptimalkan untuk kebaikan dan amal saleh, dengan cara memberikan solusi terbaik atas setiap permasalahan yang dapat merusak keharmonisan antar kita. Jika kita mampu denga harta, maka marilah kita “belanjakan” untuk segala hal-hal yang menyangkut kebaikan, minimal mampu membantu saudara-saudara kita yang lemah dan mudah ‘goyah’ imannya. Yang penting, kita dapat berbuat baik dan bermanfaat bagi agama kita, dan amal baik itu akan dapat kita petik hasilnya kelak di akhirat.

Dengan berlomba-lomba melakukan amal saleh berarti kita telah ikut mencegah fitnah besar yang merongrongi umat Islam, bahkan mengancam akidah mereka. Dan ini merupakan gaung yang memiliki andil yang sangat besar dalam kehidupan dan kebahagian umat Islam. (bersambung...)

Berlomba-lombalah Kamu dalam Kebaikan ( bag 2)

Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi.

Berlomba-lombalah dalam Kebaikan (Bag. 2)

Oleh : Rahmat Hidayat Nasution

Untuk memotivasi kita agar aktif dalam melakukan kebaikan dan amal saleh, kita harus melihat apa yang dijanjikan Allah Swt. buat hambanya yang melakukan kebaikan dan amal saleh. Salah satu rahasia yang diungkapkan Allah di dalam Kalam-Nya adalah bahwa orang yang beramal saleh akan diberi balasan yang baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini disitir dalam surat az-Zumar ayat 10, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu’. Orang-orang yang berbuat baik di dunia akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Sekalipun demikian, kita perlu mengetauhi apakah arti “kebaikan” itu sebenarnya. Kebanyakan manusia memahami arti kebaikan dengan berbuat hal-hal yang menyenangkan orang lain, memberi uang kepada orang miskin, berperilaku toleran terhadap setiap jenis perbuatan dan tindakan yang dilakukan orang lain maupun agama lain. Padahal, Allah Swt. telah menjelaskan di dalam Kalam-Nya tentang hakekat kebaikan sebenarnya. Allah Swt. berfirman, Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu merupakan suatu kebaikan, akan tetapi, sesungguhnya kebaikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), orang yang meminta-minta; memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]:177).

Jadi, berdasarkan ayat di atas, kebaikan sesungguhnya adalah takut kepada Allah, tetap mengingat hari pembalasan, mengikuti hati nurani, dan selalu melakukan perbuatan yang akan diridhai Allah. Maka, bukanlah kebaikan bila kita merusak subtansi akidah kita dengan memberikan toleransi seluas-luasnya terhadap tindakan-tindakan yang menyimpang dari risalah tauhid yang diajarkan Rasulullah Saw. Jelasnya, tidak ada toleransi jika menyangkut “teritorial” akidah kita.

Di dalam al-Qur’an, Allah Swt. telah berjanji untuk menggandakan nilai perbuatan setiap hamba yang berbuat baik. Di antara ayat-ayat Allah yang menjelaskan hal ini adalah, “Siapa yang melakukan amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan siapa yang melakukan amal yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sediktpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-an’am [6]: 160)

Bukti yang paling konkrit bahwa Allah menggandakan setiap perbuatan baik adalah perbedaan kehidupan di dunia dan di akhirat. Kehidupan di dunia ini memiliki masa yang pendek. Walaupun demikian, orang-orang yang menyucikan dirinya dan melakukan perbuatan baik di dunia ini akan diberi balasan dengan kebaikan yang tidak terbatas di akhirat, sebagai balasan dari apa yang telah mereka lakukan selama kehidupan yang pendek (baca; dunia) tersebut.

Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam kebaikan dan amal saleh. Di samping sebagi bekal kita kelak di akhirat, juga menjadi media untuk mewujudkan keharmonisan antar kita dan membendung ‘teritorial’ akidah dari goncangan-goncangan yang berbahaya. Allah Swt. berfirman, “...Maka berlomba-lombalah kamu (dalam) kebaiakan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 148).

Penulis adalah mahasiswa universitas al-Azhar Kairo, Mesir, Fakultas Syariah Islamiyah, Tingkat IV dan wartawan media TëROBOSAN Kairo, Mesir.


ilmu adalah investasi tiada henti