ikatlah ilmu dengan menuliskannya"sanitomichie"

Thursday, July 26, 2007

Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi.

Hidup Ini Ibarat Mimpi
Oleh ARY GINANJAR AGUSTIAN

AKHIR-AKHIR ini Indonesia dilanda berbagai musibah baik di darat, laut, maupun udara. Media massa dengan gencar memberitakan kecelakaan menimpa kereta api (KA), tenggelamnya kapal laut, dan kecelakaan pesawat udara.

Belum hilang ingatan kita akan bencana-bencana tersebut, wilayah Jakarta dan sekitarnya seperti Bekasi dan Tangerang tergenang banjir. Kehidupan masyarakat dan perekonomian menjadi lumpuh dibuatnya.

Kita semua prihatin dan tentu saja harus mengadakan introspeksi dan evaluasi di balik semua musibah tersebut. Pada Rakernas dan Temu Alumni ke-2 di Bukittingi, Sumatra Barat, belum lama ini, para alumni ESQ mengumpulkan dana sehingga mencapai Rp 65 juta untuk musibah di Sumatra Barat.

Terlepas dari semua itu, kita sepatutnya mengenang kembali makna hidup di dunia ini. Patut disyukuri bahwa hari ini kita masih dapat berjumpa. Sebuah perjumpaan di alam mimpi. Karena, jika kita renungi, sesungguhnya hidup ini adalah mimpi.

Kehidupan saat ini ibarat bayang-bayang, tidak nyata. Hidup ini bagaikan tidur tadi siang, dan ketika terbangun itulah akhirat. Semoga kita senantiasa sadar bahwa sesungguhnya kita dalam impian.

Saya katakan demikian, karena dunia ini adalah tempat kehidupan yang belum ada konsekuensinya secara sempurna. Jadi, apabila kita berbuat baik, kebaikan itu tidak sepenuhnya berbalik jadi kebaikan saat ini. Ketika kita berbuat kemuliaan, kemuliaan itu belum tentu muncul di hadapan kita saat ini.

Begitu pula ketika kita berbuat kejahatan, keburukan, atau kemalasan, dampaknya hanya sebagian yang ditunjukkan saat ini, dan ada yang tersembunyi di belakang.

Oleh karena itu, kita patut bersyukur jika ujian atau hukuman itu datang. Ujian bisa berupa sakit, kehilangan harta benda, atau musibah lainnya. Semua itu dasarnya merupakan keseimbangan yang harus kita terima sebagai akibat logis dari keseimbangan alam semesta.

Dalam hal ini, kita dapat melihat teladan Nabi Muhammad sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Menyadari usianya tak akan lama lagi, Nabi Muhammad bertanya, "Siapa yang dulu aku sakiti, maka berilah aku balasan seperti yang pernah aku lakukan."

Hal ini menyiratkan bahwa Nabi lebih senang mendapatkan balasan di dunia daripada nanti di akhirat. Oleh karena itu, kita tidak usah bersedih jika mendapat masalah, penderitaan, dan kekurangan. Itu semua adalah efek dari apa yang kita lakukan, sedangkan efek sisanya akan lunas di akhirat. Yang berbuat baik bunganya akan didapatkan di akhirat, di hari pembalasan.

Pikiran, kata, dan sikap akan berdampak pada alam. Dampak itu semuanya akan direspons oleh alam. Karena alam memiliki kesadarannya sendiri. Sesungguhnya alam itu adalah energi, yang dalam ilmu fisika disebut Fisika Quantum Vacuum.

Dari manakah semua itu? Siapakah yang menyeimbangkan? Dialah 99 energi, 99 kekuatan Kuantum Vacuum. Sesungguhnya, itu semua adalah energi Asmaul Husna. Kebaikan dibalas dengan kebaikan, keburukan dibalas dengan keburukan, demi menjaga keseimbangan.

OIeh karena itu, selama kita masih hidup di dunia, berlomba-lombalah dalam menciptakan balasan atau konsekuensi, yaitu surga. Berlomba-lombalah untuk menciptakan semua kebaikan yang tidak dilihat oleh manusia ataupun yang terlihat pandangan orang lain.

Sadarlah, kita semua masih mimpi, karena kita semua masih berada dalam bayang-bayang. Kita berada di alam fana, bukan di alam sesungguhnya. Percayalah, suatu hari ketika masuk di alam pembalasan, kita akan mengatakan benar bahwa saya dulu di dunia hanyalah mimpi, dan sekarang adalah nyata.***





PROTONEMA lyrics
Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi.

Kembali kepada Tuhan
Oleh ASEP SALAHUDIN

KEMBALI bahasa Arabnya adalah taba. Bentuk kata bendanya taubat. Kata taubat (tobat) sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia.

Tobat merupakan konsep religius dikedepankan, karena manusia adalah makhluk yang sering alpa dan khilap. Tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan dosa, hanya perbedaannya banyak sedikit, sering, dan tidaknya. Diandaikan dengan tobat mereka dapat kembali ke kediriannya yang fitri. Dengan tobat dosa terampunkan dan diri kembali menemukan asal-usulnya yang fitri.

Menjadi manusia yang fitri (suci), inilah yang menjadi obsesi kaum beriman. Kondisi ini hakikatnya merupakan fitrah manusia. Fitrah suci yang dalam perjalanannya kerap ternodai oleh perilaku manusia yang sering khilaf dan lupa diri itu.

Dalam ajaran Islam, manusia lahir sama sekali tidak dibebani dosa leluhurnya. Dosa ada karena kita yang berbuat. Dosa inilah yang apabila terus menumpuk dan tidak kita tobati tidak menutup kemungkinan akan menutupi hati dan menumpulkan kepekaan jiwa, sehingga cahaya Tuhan yang seharusnya memancar tertutup dedak dosa ini, sebagaimana dalam teori “Hati ibarat cerminnya” al-Ghazali yang terkenal itu.

Maha penerima tobat

Kesadaran diri untuk lekas kembali ini yang selalu diigatkan Alquran. Di titik ini Tuhan menyampaikan garansi untuk menerima setiap tobat hamba-Nya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, malah Dia menahbiskan dirinya sebagai zat yang Maha Penerima tobat. al-Tawwab merupakan salah satu dari nama-nama Allah yang indah. ”Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya” (Q.S. al-Syura: 25). Dalam riwayat Ibnu Abbas dikatakan, Rasul bersabda: “Semua anak cucu Adam itu banyak melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertobat” (H.R. Tirmidzi).

Allah menyeru kepada kita agar jangan sampai putus asa, karena kesalahan yang telah kita perbuat. Pintu tobat selalu terbuka. Dengan penuh kasih sayang, Dia memanggil kita agar selekas mungkin menggunakan kesempatan untuk bertobat agar kita menjadi orang yang beruntung ”Bertobatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung” (Q.S. al-Nur: 31).

Sejarah merekam bagaimana orang-orang mulia setingkat para nabi, ketika mereka melakukan kesalahan dengan cepat mereka bertobat menjerit memohon ampunan sebagaimana yang dilakukan oleh Adam a.s. (Q.S. Taha: 120-122, al-Baqarah: 37) Ibrahim a.s. dan Musa a.s. (Q.S. al-Baqarah: 128, al-Araf: 143).

Logikanya, nabi saja bertobat dan beristigfar yang padahal tingkat kesalahannya sangat kecil, apalagi kita yang dijamin kesalahannya lebih besar dan sering dari pada para kekasih Allah itu. Adalah satu sikap yang sombong, apabila kita tidak pernah beristigfar dan bertaubat. Namun, justru yang terakhir inilah yang sering terjadi. Tahu banyak dosa, tapi tidak mau bertobat atau bertobat tapi sering kembali lagi melakukan kesalahan yang sama, berulang-ulang jatuh dalam lubang yang tidak jauh berbeda.

Mumpung pintu tobat itu masih terbuka, kita gunakan kesempatan ini. Sebab, setelah ajal di tenggorokan, maka semua penyesalan sudah tidak ada lagi gunanya. Ketika ajal menjemput, Allah pun menutup pintu tobat dan kita pun tinggal dirasuki penyesalan yang sudah sangat terlambat (Q.S. al-Nisa: 18).

Kita pun mafhum, sejatinya yang menjadi penyebab utama merebaknya krisis yang menimpa jagat manusia hakikinya, adalah akibat tindakan tercela yang kita perbuat sendiri dan tidak pernah ditobati. Selalu berulang-ulang dan terus terulang. ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri ...” (Q.S. al-Syura: 30).

Kekerasan dan kekejian yang terus berputar dan tidak pernah terbersit rasa sesal untuk kemudian kembali kepada zat Yang Maha Pengampun. Kata Imam Ali, “Jauhilah melakukan dosa, tidak ada bencana, kekurangan rezeki kecuali dengan dosa,” Dalam riwayat lain “Ketahuilah bahwa tidak ada satu bau badan yang keluar, cacat, sakit kepala, dan penyakit yang lain hinggap pada manusia kecuali karena dosa yang dilakukannya”. Imam Ja’far al-Shadiq mengingatkan bahwa, “Orang yang mati karena dosanya adalah lebih banyak dibandingkan orang yang mati karena memang ajalnya sudah tiba.”

Alquran dengan sangat cermat menyodorkan pelajaran berharga dengan mendokumentasikan hikayat masa silam: bagaimana bangsa yang telah mencapai puncak kemakmuran tiba-tiba tersungkur mengenaskan dikepung berbagai bencana, akibat dari dosa-dosa yang terakumulasi dan tidak pernah bertobat bahkan dengan pongah mengolok-olok suara kebenaran yang direfresentasikan para nabi sebagaimana yang dialami kaum Saba (Q.S. Saba: 16-17), kaum Tsamud (al-Naml: 45-53), kaum ‘Ad (Q.S. al-Mu’minun: 41), kaum Luth (Q.S. al-’Ankabut/29: 31), kaum Syuaib (QS. Hud: 94), Fir’aun dan kaumnya (Q.S. al-Qashash/28: 40), dan kaum Sabat (Q.S. al-A’raf: 165).

Dan yang paling mutakhir, jangan jauh-jauh, diakui atau tidak, krisis berkepanjangan yang menimpa kita salah satu jawabannya karena tempo hari (sampai sekarang?) pembangunan yang kita selenggarakan terlampaui kerap mentoleransi tindakan-tindakan dosa. Pengertian Dosa itu dalam kamus kebangsaan kita, bisa bernama korupsi, kolusi, nepotisme, sogok, menipu, dusta, dst. Tatkala ada suara-suara yang mengingatkan kekejian, dengan serta merta suara itu dibungkam dan atau nasibnya hilang tergerus arus budaya massa yang memang sudah korup, belum lagi dosa individual dalam kaitan dengan Sang Kuasa. Masih banyak contoh lain, yang intinya, sekali lagi, meneguhkan satu hubungan antara dosa, petaka, dan keengganan untuk kembali ke jalan waras (benar).

Dalam satu riwayat, suatu hari Imam Ali pernah dimintai nasihat, “Wahai Amirul Mu’minin, mengapa doa-doa kita tidak dikabulkan oleh Allah padahal Dia telah berfirman, ‘hendaklah kalian berdoa kepada-Ku pasti akan Kukabulkan doa kalian?” Imam Ali menjawab, bahwa sesungguhnya hati kalian telah berkhianat dengan delapan sifat.

1. Kalian mengenal Allah namun kalian tidak mengindahkan hak-hak-Nya.
2. Kalian beriman kepada Rasul namun kalian redupkan syariatnya.
3. Kalian membaca kitab suci tapi kalian tidak mengamalkan kandungannya.
4. Kalian mengaku takut neraka tetapi setiap saat akrab dengan perbuatan yang akan mendorong ke arah sana.
5. Kalian mengaku ingin masuk surga namun kalian mengerjakan amal yang justru menjauhkan darinya.
6. Kalian banyak mamakan nikmat Allah, tetapi tidak pernah mensyukurinya.
7. Kalian memusuhi setan, tetapi kalian selalu mengikuti ajakannya tanpa membantah.
8. Kalian begitu cerdas menghitung aib orang lain, namun kalian tidak mempunyai keberanian untuk menghitung aib sendiri.

Demi tekad luhur untuk kembali kepada-Nya dalam keadaan suci, demi meraih kehidupan yang berharkat, maka tidak ada cara lain tatkala kita terjebak dalam kesalahan dan dosa kita selekas mungkin memohon ampunan-Nya dan bertobat dengan sungguh-sungguh, kita canangkan nawaitu yang kokoh untuk tidak jatuh dalam kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Selepas kita tobat, Allah menebarkan ampunan dan menjanjikan hidup yang terbebas dari keresahan dan yang kemudian muncul adalah damai dan lapang sebagaimana diisyaratkan Hadis Nabi saw: “Barangsiapa banyak beristigfar, niscaya Allah akan menghilangkan kesedihannya, memberikan jalan keluar bagi kesempitan (hidupnya) dan memberinya rezeki tanpa diduga-duga. *** "PR bdg"

http://www.3planesoft.com/img/nature_screen01.jpg
ilmu adalah investasi tiada henti