ikatlah ilmu dengan menuliskannya"sanitomichie"

Thursday, August 16, 2007

Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi

Seni Memimpin Diri
Oleh ARY GINANJAR AGUSTIAN

KETIKA baru pulang dari perang terhebat di zaman Rasulullah, yakni Perang Badar, maka nabi yang mulia memberikan nasihat-nasihatnya. Perang itu berlangsung di bulan Ramadan ketika nabi dan para sahabatnya tetap menjalankan ibadah puasa.

"Kita baru saja kembali dari perang kecil menuju ke perang yang lebih besar. Perang besar itu adalah menghadapi hawa nafsu," kata Rasulullah saw.

Frederick Agung, Raja Prusia yang terkenal itu, suatu hari berjalan-jalan di pinggiran Kota Berlin, Jerman. Ia bertemu dengan seorang laki-laki tua yang sedang berjalan ke arahnya, kemudian ia bertanya:

"Kau siapa?" tanya Frederick.
"Saya raja," jawab sang laki-laki tua.
"Raja?" Frederick tertawa. "Atas kerajaan mana kau memerintah?"
"Atas diri saya sendiri," jawab laki-laki tua itu dengan bangga.

Potongan kisah Nabi Muhammad dan pembicaraan Raja Frederick itu mengingatkan kita bahwa seorang pemimpin harus mampu memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain. Apabila seseorang telah mampu memimpin dirinya, berarti dia telah berhasil menjelajahi diri dan mengenal secara mendalam siapa dirinya. Sebelum memimpin ke luar, ia telah mampu memimpin ke dalam.

Muhammad, sebelum menjadi nabi dan pemimpin besar, telah berhasil memimpin diri sendiri. Tak heran apabila pada usia belia telah mendapat gelar dalam hal integritas dan kejujuran yaitu "Al-Amin" dari masyarakat Quraisy yang kelak menjadi penentang utamanya. Sampai saat ini belum ada satu pun universitas di dunia yang memberikan gelar "Al-Amin" kepada lulusannya.

Pengenalan diri lebih intensif dilakukan Muhammad di Gua Hira, sebuah gua yang berada di puncak Bukit Cahaya (Jabal Nur) di pinggiran Kota Mekah. Perenungan tersebut yang selanjutnya mengantarkan pada pengenalan Sang Pencipta, Allah SWT.

Begitu pula dengan yang terjadi pada Nelson Mandela, pemimpin besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya dari negara yang rasialis menjadi negara yang demokratis dan merdeka. Dalam sebuah wawancara, Nelson Mandela menceritakan selama penderitaan 27 tahun dalam penjara pemerintah Apartheid, justru melahirkan perubahan dalam dirinya.

Ia mengalami perubahan karakter dan memperoleh kedamaian dalam dirinya sehingga menjadi manusia yang mampu mengendalikan diri, memaafkan orang yang memusuhinya. Karena itulah, Mandela kemudian diakui sebagai pemimpin sejati.

Memimpin diri adalah pekerjaan yang amat berat. Tak mudah bagi seseorang untuk selalu mampu memimpin diri sendiri melawan penjajahan hawa nafsu. Hal ini berkaitan dengan kedisiplinan diri yaitu mencapai apa yang sungguh-sungguh diharapkan dan melakukan yang tidak diinginkan. Musuh yang paling berat untuk ditaklukkan adalah diri sendiri.

Seperti yang dikatakan oleh penulis buku terkenal, Kenneth Blanchard, kepemimpinan dimulai dari dalam hati dan ke luar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Kepemimpinan adalah transformasi internal dalam diri seseorang. Sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).

Karena itulah, ketika usai Perang Badar, Rasulullah mengatakan masih ada peperangan yang lebih besar, yaitu perang melawan diri sendiri. Itulah perang sepanjang hayat, yaitu mengendalikan dan memimpin diri ke jalan kebenaran. Wallahu-a'lam.***

http://www.istanasurgaku.blogspot.com


Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi

Hidup Proporsional
Oleh K.H. ABDULLAH GYMNASTIAR

Semoga Allah Yang Mahakaya mengaruniakan kekayaan yang penuh berkah, dan melindungi kita dan tipu daya kekayaan yang menjadi fitnah.

SAUDARAKU, salah satu hal yang harus kita waspadai saat ini adalah kegemaran sebagian orang terhadap kemewahan dan menggejalanya pola hidup konsumtif. Apa kerugian hidup bermewah-mewah? Di zaman sekarang kemewahan bisa membawa bencana. Minimal dicurigai orang lain. Siksaan pertama dari kemewahan adalah ingin pamer, ingin diketahui orang lain. Siksaan kedua dari kemewahan adalah takut ada saingan. Pemuja kemewahan akan mudah dengkinya kepada yang punya lebih. Penyakit ketiga cemas, takut rusak, takut dicuri. Makin mahal barang yang dimiliki, kita akan semakin takut kehilangan.

Hidup mewah juga sesungguhnya membuat biaya hidup menjadi tinggi, apalagi orang yang hobi kepada merek, karena kita bisa jadi seperti etalase. Bukan tidak boleh memakai barang bermerek, tetapi apa artinya merek bagus jika diri kita murahan. Apalah artinya memakai jam tangan mahal, tetapi untuk sedekah pelitnya luar biasa. Persoalan sebenarnya adalah dia kehilangan jati dirinya. Apalagi, barang-barang mewah itu membutuhkan biaya perawatan yang tinggi dan harus dijaga dengan baik sehingga biaya pengamanannya juga tinggi. Oleh karena itu, sejak sekarang mulailah merujuk kepada teladan kita Nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad adalah puncak kemuliaan, puncaknya prestasi yang bagi kita umat Islam sudah tidak ada keraguan lagi akan kemuliaannya. Beliau adalah pemimpin sebuah negara, tetapi beliau tetap dikenal sebagai orang yang bersahaja, bahkan sampai sekarang tidak kurang kemuliaannya.

Kalau mau jujur, sebenarnya orang-orang yang bersahaja itu selalu mencuri hati kita. Kalau ada pejabat tinggi yang bersahaja, hati kita akan tercuri. Kalau ada artis kaya dan terkenal tetapi bersahaja, kita kagum kepadanya. Begitu pun kalau ada orang yang sukses tetapi hidup bersahaja, selalu saja dia memiliki pesona tersendiri.

Memang bersahaja itu membuat seseorang lebih berharga dari apa yang dimilikinya. Mungkin dia mempunyai mobil bagus, tetapi dirinya jauh lebih berharga daripada mobilnya. Dengan begitu, ketika mobilnya tiada, tidak pernah berkurang kemuliaannya. Seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi di sebuah institusi, tetapi dia begitu bersahaja, maka ketika pensiun atau dimutasi, tidak pernah berkurang kemuliaannya karena kemuliaannya melekat pada dirinya.

Orang yang bersahaja itu hidup tenteram dan tidak jadi bahan iri orang lain. Karena tidak ada yang membuat orang lain jadi iri, tidak membuat orang lain kotor hati, dan juga tidak membuat dirinya kotor hati.

Bagi orang yang hidupnya bersahaja dia akan tenang-tenang saja, karena dia tidak merasa perlu diistimewakan, tidak ingin dispesialkan, sehingga melangkah ke mana pun baginya teramat ringan tanpa beban. Seperti halnya Rasulullah saw. naik unta atau naik keledai, bagi beliau sama saja. Bahkan, rumah beliau juga begitu sederhana dan tidak dilengkapi perabotan yang mahal-mahal.

Oleh karena itu, hidup ini harus proporsional. Lalu apakah kita harus hidup miskin? Tidak! Namun, setidaknya kalau kita hidup bersahaja, selain hemat dan terhormat, insya Allah juga akan menjadi ladang ibadah bagi kita, karena mengikuti sunah Rasulullah saw. dan kita tidak membuat orang lain sakit hati. Dari sana, kita juga bisa bergaul secara nyaman dengan siapa pun.

Tidak apa-apa kita berpakaian bagus, yang penting proporsional. Misalnya, ketika pergi ke sebuah resepsi, tampaknya tidak layak jika kita berpakaian kumuh dan lusuh karena ingin dianggap bersahaja. Justru malah sebaliknya, orang akan mual melihat kita. Demikian halnya jika kita berangkat ke resepsi dengan memakai segala macam aksesori, tentu itu juga akan menjadikan kita bahan tontonan. Yang penting niat kita berpakaian itu untuk apa? Seharusnya kita semaikan niat yang utama untuk menutup aurat sesuai dengan syariat Islam, sehingga dari sana orang lain dapat melihat kemuliaan Islam.

Di pihak lain, kita juga harus mendefinisikan dulu pengertian mewah agar kita tidak mudah menilai orang lain hidup mewah, sementara kita sendiri tidak mengerti maksudnya. Mewah itu adalah sesuatu yang melampaui keperluan dan melampaui kemampuan. Kalau kita di rumah punya sandal jepit sepuluh pasang, bisa jadi kita termasuk orang yang mewah, karena kita tidak memerlukan sandal sebanyak itu. Seandainya seseorang membeli helikopter miliaran rupiah, maka itu belum tentu mewah kalau itu sesuai dengan keperluan dan kemampuannya. Rumah besar juga belum tentu tergolong mewah kalau pemiliknya memang meniatkan untuk hal-hal positif, seperti menampung anak yatim misalnya atau karena keluarganya memang banyak sehingga memerlukan tempat yang luas.

Jadi, dalam menilai sesuatu itu mewah atau tidak adalah dengan melihat apakah sesuai dengan keperluan dan kemampuan atau tidak. Kalau sesuatu tidak sesuai dengan keperluan dan kemampuan, itulah yang disebut mewah. Jadi, sekali lagi jangan menilai orang lain hanya menurut versi kita. Seperti halnya ukuran kaki, kita hanya boleh mengukur kaki kita dan tidak boleh kita iri dengan ukuran kaki orang lain yang lebih besar.

Yang paling penting adalah niat di dalam hati. Kalau kita terbiasa hidup bersahaja, hidup kita juga akan tenang dan tidak ada beban. Jadi, mulai sekarang latihlah untuk tidak rindu pujian orang dan tidak tamak dengan penilaian orang lain. Bersyukurlah apabila setiap barang yang kita miliki halal dan sesuai kemampuan. Terserah orang mau menganggap kita miskin, tidak apa-apa, karena kita tidak bisa hidup dengan penilaian orang lain terus-menerus.

Apa artinya kita dipuji orang lain, tetapi kita hidup tertekan. Apa artinya bila kita dipuji orang lain, tetapi kita menderita. Apakah seperti itu hidup yang kita inginkan? Mulai sekarang marilah kita evaluasi diri, jika masih berminat untuk hidup bermewah-mewah, bersiaplah dengan segudang penderitaan. Akan tetapi, kalau kita hidup bersahaja, itulah yang akan selalu membuat orang menjadi terhormat.

Tampaknya, pola hidup sederhana harus dibudayakan kembali di masyarakat. Tak terkecuali di keluarga kita. Kalau orang tua memberikan contoh pada anak-anaknya tentang kesederhanaan, maka anak akan terjaga dari merasa diri lebih dari orang lain, tidak senang dengan kemewahan, dan mampu mengendalikan diri dari hidup bermewah-mewah.

Semoga dengan hidup sederhana dan proporsional; tidak berlebihan, kita memiliki anggaran berlebih untuk ibadah, untuk meningkatkan kemampuan kita, dan untuk beramal saleh menolong sesama. Amin. Wallahualam.***PR Bdg"

ilmu adalah investasi tiada henti