ikatlah ilmu dengan menuliskannya"sanitomichie"

Thursday, April 5, 2007

Upaya menghidupkan qolbu

�Lelah, tersinggung, terhina, kekurangan, uang, tertimpa penyakit, dan masih begitu banyak lagi masalah yang akan membuat orang menjadi goyah, tapi kalau terkelola hatinya, subhanallaah, ia tetap akan punya nilai produktif. Banyak orang yang sangat sibuk memikirkan kecerdasannya, memikirkan kesehatan fisiknya, tapi sangat sedikit memikirkan kondisi hatinya. Kalaulah kita harus memilih, seharusnya kita banyak meluangkan waktu untuk memikirkan qolbu ini. Karena jika qolbu ini baik, yang lainnya pun menjadi baik, Insya Allah.� (AA Gym)

Upaya menghidupkan Qolbu

KH. AA Gym

Kalau ada satu keberuntungan bagi manusia dibanding dengan hewan, maka itu adalah bahwa manusia memiliki kesempatan untuk ma’rifat (kesanggupan mengenal Allah). Kesanggupan ini dikaruniakan Allah karena manusia memiliki akal dan yang terutama sekali hati nurani. Inilah karunia Allah yang sangat besar bagi manusia.

Orang-orang yang hatinya benar-benar berfungsi akan berhasil mengenali dirinya dan pada akhirnya akan berhasil pula mengenali Tuhannya. Tidak ada kekayaan termahal dalam hidup ini, kecuali keberhasilan mengenali diri dan Tuhannya. Karenanya, siapapun yang tidak bersungguh-sungguh menghidupkan hati nuraninya, dia akan jahil, akan bodoh, baik dalam mengenal dirinya sendiri, lebih-lebih lagi dalam mengenal Allah Azza wa Jalla, Zat yang telah menyempurnakan kejadiannya dan pula mengurus tubuhnya lebih daripada apa yang bisa ia lakukan terhadap dirinya sendiri.

Orang-orang yang sepanjang hidupnya tidak pernah mampu mengenal dirinya dengan baik, tidak akan tahu harus bagaimana menyikapi hidup ini, tidak akan tahu indahnya hidup. Demikian pun, karena tidak mengenal Tuhannya, maka hampir dapat dipastikan kalau yang dikenalnya hanyalah dunia ini saja, dan itu pun sebagian kecil belaka. Akibatnya, semua kalkulasi perbuatannya, tidak bisa tidak, hanya diukur oleh aksesoris keduniaan belaka. Dia menghargai orang semata-mata karena orang tersebut tinggi pangkat, jabatan, dan kedudukannya, ataupun banyak hartanya. Demikian pula dirinya sendiri merasa berharga di mata orang, itu karena ia merasa memiliki kelebihan duniawi dibandingkan dengan orang lain. Adapun dalam perkara harta, gelar, pangkat, dan kedudukan itu sendiri, ia tidak akan mempedulikan dari mana datangnya dan kemana perginya karena yang penting baginya adalah ada dan tiadanya.

Sebagian besar orang ternyata tidak mempunyai cukup waktu dan kesungguhan untuk bisa mengenali hati nuraninya sendiri. Akibatnya, menjadi tidak sadar, apa yang harus dilakukan di dalam kehidupan dunia yang serba singkat ini. Sayang sekali, hati nurani itu - berbeda dengan dunia - tidak bisa dilihat dan diraba. Kendatipun demikian, kita hendaknya sadar bahwa hatilah pusat segala kesejukan dan keindahan dalam hidup ini, Seorang ibu yang tengah mengandung ternyata mampu menjalani hari-harinya dengan sabar, padahal jelas secara duniawi tidak menguntungkan apapun. Yang ada malah berat melangkah, sakit, lelah, mual. Walaupun demikian, semua itu toh tidak membuat sang ibu berbuat aniaya terhadap jabang bayi yang dikandungnya.

Datang saatnya melahirkan, apa yang bisa dirasakan seorang ibu, selain rasa sakit yang tak terperikan. Tubuh terluka, darah bersimbah, bahkan tak jarang berjuang diujung maut. Ketika jabang bayi berhasil terlahir ke dunia, subhanallaah, sang ibu malah tersenyum bahagia. Sang bayi yang masih merah itu pun dimomong siang malam dengan sepenuh kasih sayang. Padahal tangisnya di tengah malam buta membuat sang ibu terkurangkan jatah istirahatnya. Siang malam dengan sabar ia mengganti popok yang sebentar-sebentar basah dan sebentar-sebentar belepotan kotoran bayi. Cucian pun tambah menggunung karena tak jarang pakaian sang ibu harus sering diganti karena terkena pipis si jantung hati. Akan tetapi, Masya Allah, semua beban derita itu toh tidak membuat ia berlaku kasar atau mencampakkan sang bayi.

Ketika tiba saatnya si buah hati belajar berjalan, ibu pun dengan seksama membimbing dan menjaganya. Hatinya selalu cemas jangan-jangan si mungil yang tampak kian hari semakin lucu itu terjatuh atau menginjak duri. Saatnya si anak harus masuk sekolah, tak kurang-kurangnya menjadi beban orang tua. Demikian pula ketika memasuki dunia remaja, mulai tampak kenakalannya, mulai sering membuat kesal orang tua. Sungguh menjadi beban batin yang tidak ringan.Pendek kata, sewaktu kecil menjadi beban, sudah besar pun tak kurang menyusahkan. Begitu panjang rentang waktu yang harus dijalani orang tua dalam menanggung segala beban, namun begitu sedikit balas jasa anak. Bahkan tak jarang sang anak malah membuat durhaka, menelantarkan, dan mencampakkan kedua orang tuanya begitu saja manakala tiba saatnya mereka tua renta.

Mengapa orang tua bisa sedemikian tahan untuk terus menerus berkorban bagi anak-anaknya? Karena, keduanya mempunyai hati nurani, yang dari dalamnya terpancar kasih sayang yang tulus suci. Walaupun tidak ada imbalan langsung dari anak-anaknya, namun nurani yang memiliki kasih sayang inilah yang memuatnya tahan terhadap segala kesulitan dan penderitaan. Bahkan sesuatu yang menyengsarakan pun terasa tidak menjadi beban. Oleh karena itu, beruntunglah orang yang ditakdirkan memiliki kekayaan berupa harta yang banyak, akan tetapi yang harus selalu kita jaga dan rawat sesungguhnya adalah kekayaan batin kita berupa hati nurani ini. Hati nurani yang penuh cahaya kebenaran akan membuat pemiliknya merasakan indah dan lezatnya hidup ini karena selalu akan merasakan kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla. Sebaliknya, waspadalah bila cahaya hati nurani menjadi redup. Karena, tidak bisa tidak, akan membuat pemiliknya selalu merasakan kesengsaraan lahir batin lantaran senantiasa merasa terjauhkan dari rahmat dan pertolongan-Nya.

Allah Mahatahu akan segala lintasan hati. Dia menciptakan manusia beserta segala isinya ini dari unsur tanah; dan itu berarti senyawa dengan tubuh kita karena sama-sama terbuat dari tanah. Karenanya, untuk memenuhi kebutuhan kita tidaklah cukup dengan berdzikir, tetapi harus dipenuhi dengan aneka perangkat dan makanan, yang ternyata sumbernya dari tanah pula.Bila perut terasa lapar, maka kita santap aneka makanan, yang sumbernya ternyata dari tanah. Bila tubuh kedinginan, kita pun mengenakan pakaian, yang bila ditelusuri, ternyata unsur-unsurnya terbuat dari tanah. Demikian pun bila suatu ketika tubuh kita menderita sakit, maka dicarilah obat-obatan, yang juga diolah dari komponen-komponen yang berasal dari tanah pula. Pendek kata, untuk segala keperluan tubuh, kita mencarikan jawabannya dari tanah.

Akan tetapi, qolbu ini ternyata tidak senyawa dengan unsur-unsur tanah, sehingga hanya akan terpuaskan laparnya, dahaganya, sakitnya, serta kebersihannya semata-mata dengan mengingat Allah. "Alaa bizikrillaahi tathmainul quluub." (QS. Ar Rad [13] : 28). Camkan, hatimu hanya akan menjadi tentram jikalau engkau selalu ingat kepada Allah!Kita akan banyak mempunyai banyak kebutuhan untuk fisik ita, tetapi kita pun memiliki kebutuhan untuk qolbu kita. Karenanya, marilah kita mengarungi dunia ini sambil memenuhi kebutuhan fisik dengan unsur duniawi, tetapi qolbu atau hati nurani kita tetap tertambat kepada Zat Pemilik dunia. Dengan kata lain, tubuh sibuk dengan urusan dunia, tetapi hati harus sibuk dengan Allah yang memiliki dunia. Inilah sebenarnya yang paling harus kita lakukan.

Sekali kta salah dalam mengelola hati – tubuh dan hati sama-sama sibuk dengan urusan dunia – kita pun akan stress jadinya. Hari-hari pun akan senantiasa diliputi kecemasan. Kita akan takut ada yang menghalangi, takut tidak kebagian, takut terjegal, dan seterusnya. Ini semua diakibatkan oleh sibuknya seluruh jasmani dan rohani kita dngan urusan dunia semata.Inilah sebenarnya yang sangat potensial membuat redupnya hati nurani. Kita sangat perlu meningkatkan kewaspadaan agar jangan sampai mengalami musibah semacam ini.

Bagaimana caranya agar kita mampu senantiasa membuat hati nurani ini tetap bercahaya? Secara umum solusinya adalah sebagaimana yang diungkapkan di atas : kita harus senantiasa berjuang sekuat-kuatnya agar hati ini jangan sampai terlalaikan dari mengingat Allah. Mulailah dengan mengenali apa yang ada pada diri kita, lalu kenali apa arti hidup ini. Dan semua ini bergantung kecermatan kepada ilmu. Kemudian gigihlah untuk melatih diri mengamalkan sekecil apapun ilmu yang dimiliki dengan ikhlas. Jangan lupa untuk selalu memilih lingkungan orang yang baik, orang-orang yang shalih. Mudah-mudahan ikhtiar ini menjadi jalan bagi kita untuk dapat lebih mengenal Allah, Zat yang telah menciptakan dan mengurus kita. Dialah satu-satunya Zat Maha Pembolak-balik hati, yang sama sekali tidak sesulit bagi-Nya untuk membalikan hati yang redup dan kusam menjadi terang benderang dengan cahaya-Nya. Wallahu’alam.

(Sumber : Tabloid MQ EDISI 06/TH.1/OKTOBER 2000)

INDRA JAYA ( Eng Koh )

PT. INDOSAT Tbk

Jl. AP Pettarani No.49

Makassar

( 0856 760 7777 )

Gunung manglayang bandung

Gunung Agung

Gunung Agung



Etika pacaran dalam islam

Rasulullah saw. bersabda, "Aku tidak menyuruh kamu membangun masjid-masjid untuk kemewahan (keindahan) sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani." (HR Ibnu Hibban dan Abu Dawud)

Hanya dengan berpikir positif tentang diri kita dan kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup kita, kita dapat menjadi periang dan sehat.



BAGAIMANA PACARAN MENURUT ISLAM ? (1)
sumber : Ngaji Salaf 2000

Pada pembahasan sesion ini kita akan mengangkat masalah pacaran. Pacaran yang sudah merupakan fenomena mengejala dan bahkan sudah seperti jamur dimusim hujan menjadi sebuah ajang idola bagi remaja . Cinta memang sebuah anugerah, cinta hadir untuk memaniskan� hidup di dunia apalagi rasa cinta kepada lawan jenis, sang pujaan hati atau sang kekeasih hati menjadikan cinta itu begitu terasa manis bahkan kalo orang bilang bila orang udah cita maka empedu pun terasa seperti gula. Begitulah cinta, sungguh hal yang telah banyak menjerumuskan kaum muslimin ke dalam jurang kenistaan manakala tidak berada dalam jalur rel yang benar. Mereka sudah tidak tahu lagi mana cinta yang dibolehkan dan mana yang dilarang.

Kehidupan seorang muslim atau muslimah tanpa pacaran adalah hambar, begitulah kata mereka. Kalau dikatakan nggak usah kamu pacaran maka serentak ia akan mengatakan " Lha kalo nggak pacaran, gimana kita bisa ngenal calon pendamping kita ?". kalo dikatakan pacaran itu haram akan dikatakan, " pacaran yang gimana dulu.". Beginilah keadaan kaum muda sekarang, racun syubhat, dan racun membela hawa nafsu sudah menjadi sebuah hakim� akan hukum halal-haram, boleh dan tidak. Tragis memang kondisi kita ini, terutama yang muslimah. Mereka para muslimah kebanyakan berlomba-lomba untuk mendapatkan sang pacar atau sang kekasih, apa sebabnya, " Aku takut nggak dapat jodoh ". Muslimah banyak ketakutannya tentang calon pendamping, karena mereka tahu bahwa perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1 : 5. Tapi apakah jalan pacaran sebagai penyelesaian ? Jawabnya Tidak. Bagaimana bisa, kita ikuti selengkapnya pembahasan ini sebagai berikut, ( diambil dari buku Pacaran dalam Kacamata Islam karya Abdurrahman al-Mukaffi)

Dikatakan beliau bahwa� pacaran dikategorikan sebagai nafsu syahwat yang tidak dirahmati oleh Allah, karena ketiga rukun yang menumbuhkan rasa cinta menyatu di luar perkawinan. Hal ini dilakukan dengan dalih sebagai suatu penjajakan guna mencari partner yang ideal dan serasi bagi masing-masing pihak. Tapi dalam kenyataannya masa penjajakan ini tidak lebiih dimanfaatkan sebagai pengumbaran nafsu syahwat semata-mata, bukan bertujuan secepatnya untuk melaksanakan perkawinan

Hal ini tercermin dari anggapan mereka bahwa merasakan ideal dalam memilih partner jika ada sifat-sifat sebagai berikut :

  1. Mereka merasa beruntung sekali jika selalu dapat berduaan, dan berpisah dalam waktu pendek saja tidak tahan rasanya. Dan keduanya merasa satu sama lain saling memerlukan.

  2. Mereka merasa cocok satu sama lainnya. Karena segala permasalahan yang sedang dihadapi dan dirasakan menjadi masalah yang perlu dicari pemecahannya bersama. Hal ini dimungkinkan karena mereka satu dengan lainnya merasa dapat mencapai saling pengertian dalam seluruh aspek kehidupannya.

  3. Mereka satu sama lain senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk menuruti kemauan sang kekasih. Hal ini dimungkinkan karena perasaan cinta yang telah tumbuh secra sempurna dengan pertautan yang kuat.

Tapi tanpa disadari, pacaran itu sendiri telah melambungkan perasaan cinta maki tinggi. Di sisi lain pacaran menjurus pada hubungan intim yang merusak cinta, melemahkan dan meruntuhkannya. Karena pada hakekatnya hubungan intim dalam pacaran adalah tujuan yang hendak dicapai dalam pacaran. Oleh karena itu orang yang pacaran selalu mendambakan kesyahduan. Dengan tercapainya tujuan tersebut kemungkinan tuntutannya pun mereda dan gejolak cintanya melemah. Hingga kebencian menghantui si bunga yang telah layu, karena si kumbang belang telah menghisap kehormatan secara haram.

Tak ubahnya seperti apa yang dinginkan oleh seorang pemuda untuk memadu cinta dengan dara jelita kembang desanya. dalam pandangannya sang dara tampak begitu sempurna. Higga kala itu pikiran pun hanyut, malam terkenang, siang terbayang, maka tak enak, tidur pun tak nyenyak, selalu terbayang si� dia yang tersayang. Hingga tunas kerinduan menjamur menggapai tangan, menggelitik sambil berbisik. Bisikan nan gemulai, tawa-tawa kecil kian membelai, canda-canda hingga terkulai, karena asyik, cinta pun telah menggulai. Menggulai awan yang mengawang, merobek cinta yang tinggi membintang, hingga luka mengubur cinta.....BERSAMBUNG

Sumber : Dudung Net

Hormatku semakin dalam....

Pengirim: Henny Herwina Hanif
Selasa, 30 Agustus 2005

Kubuka mukena yang setia bersamaku sepanjang malam ini. Kulipat tiga memanjang, lalu kulilitkan ke leher. Dengan begini aku berharap dapat melindungi kuduk dari hembusan angin malam. Angin yang menerobos masuk lewat jendela kamar yang sengaja kubiarkan terbuka.

Udara yang lembab dan menggerahkan telah muncul sejak awal Agustus ini, pertanda dimulainya musim panas di negeri sakura. Sebentar lagi tentu aku tak akan tenang di dalam rumahku sendiri tanpa kipas angin.

Tak akan ada AC di apartemenku yang sederhana dan bergaya tradisional ini. Tapi aku amat menyukai “rumahku”, terutama karena lokasinya yang tepat di bawah sebuah bukit kecil. Lalu dari jendela manapun aku menatap keluar, mataku akan bertumbukan dengan pepohonan dan herba. Kehijauan, pemandangan yang selalu membuatku tenang.

Kulirik hamparan futon (kasur tradisonal Jepang). Dua belahan jiwaku tengah terlelap diatasnya, bergaya bebas. Gadis kecilku telah merubah posisi tidurnya menjadi horizontal, kakinya melipat di pingir dipan yang membatasi. Ah, ia telah tumbuh semakin tinggi.

Bagian tengah yang seharusnya menjadi wilayah tidurku kosong. Sang papa, suamiku, tidur secara vertikal di bagian yang lain menghadap ke arah ruang keluarga, dimana aku tengah berada. Terdengar dengkuran halus dari bibirnya, pertanda kelelahan kata orang tua. Memang, setelah selesai bekerja kemaren sore seperti biasa ia langsung menjemput putri kami di hoikuen (sekolah setingkat taman-kanak-kanak), lalu menyuapinya makan dengan nato (sejenis makanan khas di Jepang, terbuat dari kedelai) kegemaran anakku. “Hanya setengah porsi”, katanya padaku kemudian, ketika kami harus makan di luar malam itu. Merayakan kelulusanku setelah melewati final defense, presentasi akhir mempertahankan penelitianku untuk mendapatkan gelar doktor. Setelah semua persiapan yang amat melelahkan bagiku, profesorku dan juga suamiku.

***

Suamiku adalah orang pertama yang ingin kukabari akan berita kelulusanku. Kuingat sore itu, ketika baru saja aku akan menulis email ke telepon genggamnya, suamiku sudah lebih dahulu menghubungiku lewat telepon seorang teman. Mengucapkan selamat. Hatiku bergetar ketika suaranya terdengar bahagia, lega. Perjuangan kami kini telah membuahkan salah satu hasilnya.

Ya, ini adalah perjuangan kami. Karena aku tak akan bisa menjalani semua ini tanpa dukungan, pengertian dan dorongannya. Padahal rasanya baru kemaren suara-suara itu terdengar olehku.

“Hen, kamu harus hati-hati, kamu kan mau S3, jangan nikah dulu deh…, gimana kalau suamimu nanti langsung pengen punya anak, sementara kamu harus pergi keluar negeri sendiri…?” kata seorang seniorku, ketika aku menjalani pendidikan S2 di Bandung dan tengah kebingunan dengan pilihan melanjutkan studi saja dulu, atau menikah sesuai permintaan Ibuku sambil tetap melanjutkan studi.

“Ibu sempat berdiskusi dengan teman-teman tentang rencanamu untuk menikah sebelum berangkat ke Jepang. Kamu kan masih muda, cantik dan pintar, nggak usah khawatirlah soal jodoh. Sekolah saja dulu, dan pria-pria akan berlomba ingin menyuntingmu…”, Ibu Tjadra, salah seorang dosen di laboratoriumku memberikan saran ketika kuminta pendapatnya. Dosenku yang satu ini amat lembut dan baik hati, jadi aku pun merasa dekat seperti berteman saja.

“Nggak usah nikah dulu atuh Hen…, calonmu dari IKIP? Belum mau melanjutkan lagi? Lihat deh nanti kalau kamu sudah doctor, beda gerak... Pasti deh kamu pengen sama doctor juga!” Ibu Ria, dosen biostatistikku yang campuran sunda-batak itu ikut pula menyumbangkan pendapat. Lengkap dengan gaya khasnya berbicara ketika kami berjalan bersama di koridor kampus suatu siang. Aku tersenyum melihat gaya beliau tapi belum yakin untuk setuju dengan pendapat seperti itu. Tidak kuberikan komentar apa-apa saat itu.

Belum lagi 'serangan' keluarga suamiku bagi dirinya. “Benar nih, mau menikah dengannya? Kamu nggak takut kalau pendidikannya diatasmu? Bagaimana kalau nanti dia ngelunjak dan jadi berkuasa? Apa enak jadi suami dikomandoi istri?” dan berbagai kecurigaan lainnya terhadap rencananya untuk menikahiku.

Untunglah aku tidak terpengaruh dengan berbagai pendapat yang muncul, karena telah kupasrahkan pada-Nya segala. Berdoa agar diberikan jalan terbaik jika memang ialah jodohku. Saat itu aku baru saja menyelesaikan sidang akhir program master. Sementara suamiku telah mempunyai penghasilan dari usaha kecilnya. Kami tak tinggal sekota, tapi berasal dari desa yang sama sehingga aku dan keluarganya telah saling kenal sejak lama.

Tuhan mendengar doaku dan membuatku dengan lapang dada menerima ketika ia mengurus semua keperluan untuk pernikahan bersama keluargaku di Padang. Sementara itu aku hanya menerima konfirmasi lewat telepon dan bisa terus mengurus persiapan wisuda dan dokumentasi untuk berangkat ke luar negeri.

Kini, ketika aku berhasil juga menyelesaikan studiku, perjalanan rumah tangga kami telah mencapai umur 7 tahun. Dengan menjaga prinsip saling terbuka, saling percaya, saling menghormati dan berpedoman pada tuntunan pernikahan dalam Islam, aku selalu berusaha memposisikan diri sebagai istri yang patuh pada suami dan sebagai ibu yang baik bagi anak kami semata wayang. Berkat pengorbanannya dan tolerasi suamiku atas berbagai keterbatasan yang kumiliki, Alhamdulillah tidak ada kendala berarti dalam hubungan kami.

***

Hari beranjak subuh. Kupuaskan diri menatap suamiku yang sekarang masih tertidur pulas, tapi dengkurannya sudah tak ada lagi. Wajah yang kukasihi, kuhormati dan yang selalu mengasihi keluarganya dengan tulus. Yang beberapa hari terakhir ini merelakanku untuk tak memasakkan makanan kesukaannya. Atau tak protes kalau kumasakkan sekaligus lebih banyak, lalu tinggal dipanaskan untuk beberapa kali makan. Selebihnya aku telah membeli makanan instan atau mengajaknya makan di kantin kampusku.

Terkadang ia malah sengaja menyuruhku ke kampus secepatnya, karena tahu profesorku sedang menunggu. Bahkan dua hari terahir ini, saatku bangun di pagi hari, suamiku telah menyediakan satu set makanan instan, bekal ke kampus untukku. Rupanya setelah selesai bekerja pagi itu, ia sempat pula membereskan hal-hal kecil lainnya di dapur. Padahal setelah itu ia harus berjuang sendiri mempersiapkan anak kami yang balita untuk pergi sekolahnya. Aku sendiri sudah harus di kampus sejak sangat pagi belakangan ini, untuk menemui profesorku yang datang lebih pagi lagi, khusus untuk persiapan ujian akhirku. Suamiku juga ikut-ikutan tegang sepertiku ketika jadwal ujian tinggal hitungan jam. Dan saat mengetahui kelulusanku, ialah yang paling senang dan bahagia.

Untuk semua ketulusan ini, apakah aku sebagai istri akan bersikap lancang padanya? Apakah lantas aku akan menganggapnya rendah karena tak ikut melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi akan tetapi memilih bekerja untuk menafkahi keluarga? Aku tak melihat adanya hubungan antara gelar yang akan kusandang dengan posisinya sebagai pemimpin keluarga. Apakah aku akan besar kepala atau merasa lebih tahu dan hebat? Jawabnya hanya TIDAK.

Untuk segala pengertiannya akan kuberikan seluruh pengertianku. Untuk semua kesabarannya akan kulatih terus sabarku. Untuk segala cintanya akan kuberikan seluruh cintaku. Ini sudah menjadi tekadku sejak dahulu, saat memutuskan bersedia menjadi pendaping hidupnya. Nyatanya, semakin hari semakin bertambah kekagumanku padanya. Semakin tinggi rasa hormatku baginya.

“Ya Robbi, jadikanlah aku wanita yang sabar, sholehah dan berbakti pada suamiku, mencapai ridha-Mu…”, doaku selalu, teringat akan sabda Rasul yang pernah kubaca:

Dari Ummu Salamah, “Sesungguhnya Nabi Saw. telah bersabda, “Barang siapa di antara perempuan yang mati dan ketika itu suaminya suka (rela) kepadanya, maka perempuan itu akan masuk syurga”. (Riwayat Ibnu Majah dan Tirmizii).

***

“Uda…, banguun…”, bisikku pelan, enggan membangunkannya karena ia tampak amat nyenyak tertidur. Namun perlahan lelaki pujaan itu bangun dari istirahatnya dan segera ke kamar mandi untuk berwudhu.

Setelah shalat subuh berjamaah, kucium tangannya, saling bermaafan. Saat-saat indah yang selalu kutunggu setiap hari, karena kesibukanku biasanya membuat kami hanya bisa berjamaah disaat subuh dan isya saja.

Hari masih gelap, tapi suamiku telah siap untuk berangkat bekerja setelah meminum kopi susu buatanku.

“Assalamualaikum…”, ucapnya saat membuka pintu dan melangkah keluar.

Setelah menjawab salamnya, aku masih mematung di depan pintu. Merenungi kepergian belahan hati untuk mengadu nasib bagi keluarga, seperti yang selama ini dengan tulus ia lakoni.

Ya Allah… lindungilah suamiku, dan semoga setiap helaan nafas kasihnya pada keluarga akan selalu menjadi ladang ibadah pula baginya disisi-Mu. Amin…

Dari Abu Hurairah. Ia berkata,“Rasulullah Saw. telah memberi pelajaran. Sabda beliau, “Mukmin yang sempurna imannya ialah yang paling baik pribadinya, dan sebaik-baiknya pribadi ialah orang yang paling baik terhadap istrinya”. (Riwayat Ahmad dan Tarmizi).

Kanazawa, Agustus 2005 ( Wrm-indonesia.org)

Vitamin C....

Vitamin C (Cinta)

images.jpgSuatu hari kami pernah dikagetkan dengan kedatangan ibu ke rumah. Padahal jalan yang harus ditempuh lumayan jauh, sekitar dua jam dengan empat kali ganti angkutan umum. Ditambah dengan kondisinya yang sering sakit-sakitan, kakinya yang kadang tidak bisa diajak kompromi setelah lebih sepuluh tahun digerogoti diabetes. “Kangen cucu,” alasan utama yang memberinya kekuatan luar biasa.

Di hari lain ketika kami berkunjung ke rumahnya, ibu ditawari untuk ikut jalan-jalan ke menginap di Villa salah satu keluarga kami di kawasan puncak, Bogor. Biasanya ibu tidak pernah menolak ajakan adiknya itu, karena jalan-jalan ke puncak adalah kesukaannya. Tetapi kali itu, ia menolak tegas ajakan menggiurkan itu dengan satu alasan, “ada cucu di rumah”. Menurutnya, tidak ada yang lebih membahagiakan selain menikmati hari-hari bersama cucu-cucunya.

Cerita lainnya diperlihatkan Ayah. Ia rela menelepon berlama-lama kalau berbicara dengan cucunya. Padahal, Ayah termasuk yang rewel urusan penggunaan telepon yang tidak penting. Alasannya, tagihan pulsa akan membengkak dan tidak ada uang untuk membayarnya. “Ada yang lebih penting dari berbicara dengan cucu?” kilah sang kakek diplomatis.

Si kakek ini kadang aneh juga. Hampir setiap hari keluhan yang terdengar dari mulutnya selalu mengenai kakinya yang sakit karena asam urat. Di hari lain, badannya yang tidak bisa digerakkan. Intinya setiap hari ada saja penyakitnya. Namun ketika para cucu berkunjung ke rumahnya, entah terbang kemana para penyakit sehari-harinya itu. Bayangkan, tiba-tiba saja ia berani menantang salah seorang cucunya lomba berlari. Atau ia tak keberatan saat cucunya meminta kesediaannya menjadi kuda. Satu cucu menunggang punggungnya, yang lain iri dan tak mau ketinggalan menunggangi punggung yang biasanya selalu dikeluhkan itu. Dan kakinya yang sering sakit itu, tak terasa apa pun saat diduduki beramai-ramai oleh cucu-cucunya.

Satu lagi, kami tak pernah mengizinkan anak-anak meminta sesuatu dari kakeknya. Jangankan meminta, tanpa diminta pun kakek nenek pasti akan memberikan apa yang diinginkan cucu-cucunya. Kadang kami tahu bahwa mereka sedikit memaksakan diri untuk bisa menyenangkan cucunya. Tapi, terang saja kami tak mampu melarangnya. Karena bagi mereka, itulah cinta. Apa pun akan berlaku untuk cinta, semahal apa pun akan terbayar demi cinta.

Banyak yang bilang, cinta kakek dan nenek kepada cucu jauh berlipat ganda dari cintanya kepada anak-anaknya sendiri. Buat seorang kakek, mungkin dulu ia sering tidak punya waktu bersamaan dengan anak-anaknya lantaran kesibukan mencari nafkah. Ia merasa cintanya belum sepenuhnya dicurahkan, sehingga saat ini cucunya lah yang menjadi muara cintanya. Buat nenek, ada cinta yang takkan pernah habis di setiap aliran darahnya meski segunung cinta sudah ia berikan kepada anak-anaknya dulu. Kini, setiap tetes cinta itu terus mengalir kepada cucu-cucunya. Setiap detik, setiap masa berganti, takkan pernah lekang di makan waktu.

Jangan pernah pisahkan anak-anak kita dari mereka. sungguh, ada kekuatan luar biasa yang mengalir dari tubuh-tubuh mungil anak-anak sehingga menjadi energi positif bagi kakek dan neneknya. Ia seperti vitamin yang selalu dibutuhkan, melebihi ratusan jenis obat yang pernah diminumnya. Vitamin cinta yang seketika menimbulkan semangat kehidupan seolah garis finish tak terlihat di matanya. Berilah mereka vitamin “C” itu, cukup bagi mereka meski hanya mendengar suaranya dari seberang telepon.

Pernah suatu hari, ibu berjam-jam duduk di dekat telepon. “menunggu telepon dari cucu,” katanya. Ooh… (bayu gawtama/http://gawtama.multiply.com)

Rasulullah saw. bersabda, "Aku tidak menyuruh kamu membangun masjid-masjid untuk kemewahan (keindahan) sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani." (HR Ibnu Hibban dan Abu Dawud)

Hikmah para sahabat


Rasulullah saw. bersabda, "Aku tidak menyuruh kamu membangun masjid-masjid untuk kemewahan (keindahan) sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani." (HR Ibnu Hibban dan Abu Dawud)

Nabi Yusuf Pernah Jadi Menteri
Oleh: Asa Mulchias

Partai politik itu haram? Bid'ah? Bertentangan dengan sunnah Rasul?

Menjelang pemilu, pengharaman partai dan politik itu sendiri makin santar terdengar. Tidak sekali dua kali. Sering. Apalagi bila menyebut dunia internet. Beragam email, situs, bahkan dialog maya alias chatting, ramai dengan pendapat-pendapat miring tentang status halal politik dalam Islam. Pelakunya? Ya, umat Islam. Umat Islam yang berpendapat bahwa partai bukanlah cara yang Rasulullah ajarkan. Tak cocok dengan sirah dan manhaj perjuangan Islam.

Fenomena ini -sebenarnya- cukup mengganggu. Dirasa begitu setidaknya bagi sebagian umat Islam yang sedang meniti lembar dakwah negeri ini lewat jalur siyasi (politik). Ragu-ragu jadi sembilu. Menggerogoti semangat dan langkah. Bagi mereka yang hampir tak memiliki tsaqofah (wawasan) mengenai politik, jadi goyah pendiriannya. Haruskah Islam ditegakkan lewat politik? Bagaimana bisa membangkitkan Islam lewat jalur yang haram? Bukankah masuk ke parlemen sekuler berarti secara tidak langsung 'mengakui' sistem kebathilan?

Saling Sikut Saling Baku

Di dalam perkembangan religiusitas Islam di Indonesia, ada dua kutub yang bertolak belakang dalam hal menyikapi perjuangan Islam lewat parlemen.

Pendapat pertama cenderung memilih mengharamkan parlemen sebab dengan menafsirkan masuk parlemen, duduk bersama dengan anggota lainnya serta membuat undang-undang yang terkadang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah adalah perbuatan yang meruntuhkan wala' dan bara'. Padahal -menurut mereka- Allah sudah mewajibkan kepada setiap muslim untuk berwala' kepada Allah, Rasul dan pimpinan muslim saja. Ada banyak ayat dan hadits yang memerintahkan hal itu. Karenanya, tak heran, menurut kelompok ini, umat Islam haram hukumnya masuk parlemen dan juga tidak perlu membuat partai Islam.

Sedangkan pada pendapat kedua, terdapat pendapat yang totally different. Pada pihak ini, mereka memandang bahwa bila hukum Islam itu tidak bisa diterapkan secara keseluruhan, maka bukan berarti berhenti memperjuangkannya. Bila sesuatu tidak bisa didapatkan secara menyeluruh, bukan berarti harus ditinggalkan keseluruhnya. Maa laa yudroku kulluhu laa yutroku kulluhu!

Masuk parlemen memang tidak bisa menjamin bisa diterapkannya hukum Islam. Namun -menurut mereka- paling tidak ada kisi dan ruang yang masing bisa diperjuangkan agar bisa diatur dengan hukum Islam. Mengingat bahwa umat Islam ini adalah mayoritas dan mereka berhak mendapatkan hukum formal yang sesuai dengan syariat Islam. Misalnya, kebutuhan umat akan produk halal, bank Islam, pendidikan Islam, pasar Islam dan lainnya. Semua itu mustahil bisa berjalan manakala tidak ada kekuatan hukum yang lahir dari tekanan kelompok Islam di dalam parlemen.

Pada gilirannya, 'coverage area' hukum Islam ini diharapkan bisa meluas hingga masalah pidana dan kriminalitas hingga masalah hudud dan qishash. Meskipun untuk itu perlu tarik ulur. Serta kemungkinan dibohongi dan diperdaya oleh lawan politik. Seperti yang pernah terjadi di Aljazair dengan FIS-nya atau di Turki dengan REFAH dan seterusnya. Namun, ada meski sedikit itu lebih baik dari pada diam saja.*

Di lapangan, kacaunya, dua kubu ini saling menyerang. Dalam pengertiannya, pada tingkat bawah, terjadi peperangan ideologi. Balau, karena keduanya tak jarang merasa paling benar. Mungkin para ulama kedua belah pihak sudah pernah duduk sama rata dan bertukar pikiran. Namun, still, tidak merubah apa-apa dalam wacana umum. Belum ada kesepakatan, membuahkan perpecahan ironis untuk cita-cita tegaknya Islam di nusantara. Orang-orang masih banyak berdebat. Masih banyak saling menjatuhkan.

Pernah, dalam sebuah conference room chatting sebuah situs.com, terjadi perdebatan tentang haramnya partai politik. Seperti yang diduga, ada pihak yang memilih menyerang kubu yang membela perjuangan lewat partai. M -sebutlah orang itu- menganggap apa-apa yang dilakukan umat Islam yang berpolitik sekarang sangatlah tidak sesuai dengan aturan dalam Islam. Bahkan lebih jauh mengarahkan diskusi agar sepakat bahwa masuk ke dalam pemerintahan adalah perbuatan yang buruk. Merasa diserang, pihak lawan balas berargumen. Bahwa berbuat lebih baik dari sekedar berkomentar. Bahwa sekeras apapun kita memaki kegelapan, tak akan pernah bisa meneranginya. Nyalakanlah setitik api pada lilin, itu lebih baik!

Sungguh, perang mulut seperti itu tak perlu terjadi andai saja semua pihak saling menghargai pendapat masing-masing. Dalam hal politik, ijtihad adalah salah satu cara yang ditempuh sebagian umat menyikapi realitas Indonesia. Bahwa negeri ini dikuasai oleh segelintir orang jahat yang membuat, mengatur, dan menyalahgunakan amanah yang rakyat berikan. Bahwa negeri ini telah banyak menderita dengan perilaku-perilaku menjijikan para elit politik yang tertawa di atas kepolosan anak bangsa. Lantang kita berteriak, tak akan punya arti bagi kebijakan kejam mereka, sebab: teriakan kita tak memiliki nilai legalitas apa-apa di mata Republik ini. Maka, berjuang merubah parlemen dengan masuk parlemen jadi hal yang sangat wajar.

Sebaliknya, mereka yang ada di luar parlemen bisa lebih bebas berdakwah karena tidak ada atribut-atribut yang menghalangi masuk ke kalangan mana saja dari tiap elemen umat. Dan ini cukup baik untuk dapat membantu mendapatkan lebih banyak lagi mad`u dan objek dakwah.Ijtihad Politik Partai Islam

Islam adalah agama yang menyeluruh. Alloh menurunkan dien ini tidak untuk jadi cemoohan orang-orang non muslim dalam hal social. Islam sanggup mengatur kehidupan social manusia, sebab Islam bukanlah agama yang ditujukan untuk para manula berjenggot putih, yang duduk seharian di dalam masjid, melafadzkan dzikir. Islam untuk dunia. Bukan melulu di dalam masjid. Politik pun begitu. Dan, dalam kondisi masyarakat kita sekarang ini, mustahil menegakkan Islam tanpa menguasai dunia politik.

Bahkan seorang Syaikh kenamaan, Syaikh Al-Utsaimin pernah melontarkan jawaban atas pertanyaan majalah Al-Furqan (Kuwait), pada edisi 42, Oktober 1993: hukum masuk ke dalam majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam. Beliau menjawab:

"Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang ditetapkan. Dalam hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan syariah, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh yang baik. Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu untuk orang-orang yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti itu."

Pada bulan Mei 1996, kembali Syaikh Al-Utsaimin ditanya tentang hukum masuk ke dalam parlemen oleh majalah Al-Furqan. Dalam wawancara itu beliau menegaskan:

"Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala'. Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah unutk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya dimana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya.

Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar menguasai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. " (lihat majalah Al-Furqan - Kuwait hal. 18-19)*

Islam memang agama yang kaffah. Tidak selayaknya kita mempersempit ruang lingkupnya dengan dalih yang mengatasnamakan Islam itu sendiri. Jangan katakan Islam tak kenal politik dan mengharamkan berjuang di dalamnya. Sebab, bagaimanapun sejarah pernah mencatat Nabi Alloh, Yusuf as, pernah menjadi bendaharawan negara Mesir. Ini adalah realitas sejarah dimana Alloh pernah 'mengizinkan' nabinya menjadi bagian dari pemerintahan yang tidak islami, dan tiada pula menerapkan sistem Islam. Dan, Yusuf tak pernah menyesali hal ini. Pun Alloh tidak menegurnya dalam Al-Quran dengan sebutan: dosa.

Keterangan:
* = sumber www.syariahonline.com & (Dudung .net)


ilmu adalah investasi tiada henti