ikatlah ilmu dengan menuliskannya"sanitomichie"

Thursday, April 5, 2007

Hikmah para sahabat


Rasulullah saw. bersabda, "Aku tidak menyuruh kamu membangun masjid-masjid untuk kemewahan (keindahan) sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani." (HR Ibnu Hibban dan Abu Dawud)

Nabi Yusuf Pernah Jadi Menteri
Oleh: Asa Mulchias

Partai politik itu haram? Bid'ah? Bertentangan dengan sunnah Rasul?

Menjelang pemilu, pengharaman partai dan politik itu sendiri makin santar terdengar. Tidak sekali dua kali. Sering. Apalagi bila menyebut dunia internet. Beragam email, situs, bahkan dialog maya alias chatting, ramai dengan pendapat-pendapat miring tentang status halal politik dalam Islam. Pelakunya? Ya, umat Islam. Umat Islam yang berpendapat bahwa partai bukanlah cara yang Rasulullah ajarkan. Tak cocok dengan sirah dan manhaj perjuangan Islam.

Fenomena ini -sebenarnya- cukup mengganggu. Dirasa begitu setidaknya bagi sebagian umat Islam yang sedang meniti lembar dakwah negeri ini lewat jalur siyasi (politik). Ragu-ragu jadi sembilu. Menggerogoti semangat dan langkah. Bagi mereka yang hampir tak memiliki tsaqofah (wawasan) mengenai politik, jadi goyah pendiriannya. Haruskah Islam ditegakkan lewat politik? Bagaimana bisa membangkitkan Islam lewat jalur yang haram? Bukankah masuk ke parlemen sekuler berarti secara tidak langsung 'mengakui' sistem kebathilan?

Saling Sikut Saling Baku

Di dalam perkembangan religiusitas Islam di Indonesia, ada dua kutub yang bertolak belakang dalam hal menyikapi perjuangan Islam lewat parlemen.

Pendapat pertama cenderung memilih mengharamkan parlemen sebab dengan menafsirkan masuk parlemen, duduk bersama dengan anggota lainnya serta membuat undang-undang yang terkadang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah adalah perbuatan yang meruntuhkan wala' dan bara'. Padahal -menurut mereka- Allah sudah mewajibkan kepada setiap muslim untuk berwala' kepada Allah, Rasul dan pimpinan muslim saja. Ada banyak ayat dan hadits yang memerintahkan hal itu. Karenanya, tak heran, menurut kelompok ini, umat Islam haram hukumnya masuk parlemen dan juga tidak perlu membuat partai Islam.

Sedangkan pada pendapat kedua, terdapat pendapat yang totally different. Pada pihak ini, mereka memandang bahwa bila hukum Islam itu tidak bisa diterapkan secara keseluruhan, maka bukan berarti berhenti memperjuangkannya. Bila sesuatu tidak bisa didapatkan secara menyeluruh, bukan berarti harus ditinggalkan keseluruhnya. Maa laa yudroku kulluhu laa yutroku kulluhu!

Masuk parlemen memang tidak bisa menjamin bisa diterapkannya hukum Islam. Namun -menurut mereka- paling tidak ada kisi dan ruang yang masing bisa diperjuangkan agar bisa diatur dengan hukum Islam. Mengingat bahwa umat Islam ini adalah mayoritas dan mereka berhak mendapatkan hukum formal yang sesuai dengan syariat Islam. Misalnya, kebutuhan umat akan produk halal, bank Islam, pendidikan Islam, pasar Islam dan lainnya. Semua itu mustahil bisa berjalan manakala tidak ada kekuatan hukum yang lahir dari tekanan kelompok Islam di dalam parlemen.

Pada gilirannya, 'coverage area' hukum Islam ini diharapkan bisa meluas hingga masalah pidana dan kriminalitas hingga masalah hudud dan qishash. Meskipun untuk itu perlu tarik ulur. Serta kemungkinan dibohongi dan diperdaya oleh lawan politik. Seperti yang pernah terjadi di Aljazair dengan FIS-nya atau di Turki dengan REFAH dan seterusnya. Namun, ada meski sedikit itu lebih baik dari pada diam saja.*

Di lapangan, kacaunya, dua kubu ini saling menyerang. Dalam pengertiannya, pada tingkat bawah, terjadi peperangan ideologi. Balau, karena keduanya tak jarang merasa paling benar. Mungkin para ulama kedua belah pihak sudah pernah duduk sama rata dan bertukar pikiran. Namun, still, tidak merubah apa-apa dalam wacana umum. Belum ada kesepakatan, membuahkan perpecahan ironis untuk cita-cita tegaknya Islam di nusantara. Orang-orang masih banyak berdebat. Masih banyak saling menjatuhkan.

Pernah, dalam sebuah conference room chatting sebuah situs.com, terjadi perdebatan tentang haramnya partai politik. Seperti yang diduga, ada pihak yang memilih menyerang kubu yang membela perjuangan lewat partai. M -sebutlah orang itu- menganggap apa-apa yang dilakukan umat Islam yang berpolitik sekarang sangatlah tidak sesuai dengan aturan dalam Islam. Bahkan lebih jauh mengarahkan diskusi agar sepakat bahwa masuk ke dalam pemerintahan adalah perbuatan yang buruk. Merasa diserang, pihak lawan balas berargumen. Bahwa berbuat lebih baik dari sekedar berkomentar. Bahwa sekeras apapun kita memaki kegelapan, tak akan pernah bisa meneranginya. Nyalakanlah setitik api pada lilin, itu lebih baik!

Sungguh, perang mulut seperti itu tak perlu terjadi andai saja semua pihak saling menghargai pendapat masing-masing. Dalam hal politik, ijtihad adalah salah satu cara yang ditempuh sebagian umat menyikapi realitas Indonesia. Bahwa negeri ini dikuasai oleh segelintir orang jahat yang membuat, mengatur, dan menyalahgunakan amanah yang rakyat berikan. Bahwa negeri ini telah banyak menderita dengan perilaku-perilaku menjijikan para elit politik yang tertawa di atas kepolosan anak bangsa. Lantang kita berteriak, tak akan punya arti bagi kebijakan kejam mereka, sebab: teriakan kita tak memiliki nilai legalitas apa-apa di mata Republik ini. Maka, berjuang merubah parlemen dengan masuk parlemen jadi hal yang sangat wajar.

Sebaliknya, mereka yang ada di luar parlemen bisa lebih bebas berdakwah karena tidak ada atribut-atribut yang menghalangi masuk ke kalangan mana saja dari tiap elemen umat. Dan ini cukup baik untuk dapat membantu mendapatkan lebih banyak lagi mad`u dan objek dakwah.Ijtihad Politik Partai Islam

Islam adalah agama yang menyeluruh. Alloh menurunkan dien ini tidak untuk jadi cemoohan orang-orang non muslim dalam hal social. Islam sanggup mengatur kehidupan social manusia, sebab Islam bukanlah agama yang ditujukan untuk para manula berjenggot putih, yang duduk seharian di dalam masjid, melafadzkan dzikir. Islam untuk dunia. Bukan melulu di dalam masjid. Politik pun begitu. Dan, dalam kondisi masyarakat kita sekarang ini, mustahil menegakkan Islam tanpa menguasai dunia politik.

Bahkan seorang Syaikh kenamaan, Syaikh Al-Utsaimin pernah melontarkan jawaban atas pertanyaan majalah Al-Furqan (Kuwait), pada edisi 42, Oktober 1993: hukum masuk ke dalam majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam. Beliau menjawab:

"Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang ditetapkan. Dalam hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan syariah, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh yang baik. Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu untuk orang-orang yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti itu."

Pada bulan Mei 1996, kembali Syaikh Al-Utsaimin ditanya tentang hukum masuk ke dalam parlemen oleh majalah Al-Furqan. Dalam wawancara itu beliau menegaskan:

"Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala'. Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah unutk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya dimana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya.

Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar menguasai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. " (lihat majalah Al-Furqan - Kuwait hal. 18-19)*

Islam memang agama yang kaffah. Tidak selayaknya kita mempersempit ruang lingkupnya dengan dalih yang mengatasnamakan Islam itu sendiri. Jangan katakan Islam tak kenal politik dan mengharamkan berjuang di dalamnya. Sebab, bagaimanapun sejarah pernah mencatat Nabi Alloh, Yusuf as, pernah menjadi bendaharawan negara Mesir. Ini adalah realitas sejarah dimana Alloh pernah 'mengizinkan' nabinya menjadi bagian dari pemerintahan yang tidak islami, dan tiada pula menerapkan sistem Islam. Dan, Yusuf tak pernah menyesali hal ini. Pun Alloh tidak menegurnya dalam Al-Quran dengan sebutan: dosa.

Keterangan:
* = sumber www.syariahonline.com & (Dudung .net)


No comments:

ilmu adalah investasi tiada henti