ikatlah ilmu dengan menuliskannya"sanitomichie"

Thursday, April 5, 2007

Hormatku semakin dalam....

Pengirim: Henny Herwina Hanif
Selasa, 30 Agustus 2005

Kubuka mukena yang setia bersamaku sepanjang malam ini. Kulipat tiga memanjang, lalu kulilitkan ke leher. Dengan begini aku berharap dapat melindungi kuduk dari hembusan angin malam. Angin yang menerobos masuk lewat jendela kamar yang sengaja kubiarkan terbuka.

Udara yang lembab dan menggerahkan telah muncul sejak awal Agustus ini, pertanda dimulainya musim panas di negeri sakura. Sebentar lagi tentu aku tak akan tenang di dalam rumahku sendiri tanpa kipas angin.

Tak akan ada AC di apartemenku yang sederhana dan bergaya tradisional ini. Tapi aku amat menyukai “rumahku”, terutama karena lokasinya yang tepat di bawah sebuah bukit kecil. Lalu dari jendela manapun aku menatap keluar, mataku akan bertumbukan dengan pepohonan dan herba. Kehijauan, pemandangan yang selalu membuatku tenang.

Kulirik hamparan futon (kasur tradisonal Jepang). Dua belahan jiwaku tengah terlelap diatasnya, bergaya bebas. Gadis kecilku telah merubah posisi tidurnya menjadi horizontal, kakinya melipat di pingir dipan yang membatasi. Ah, ia telah tumbuh semakin tinggi.

Bagian tengah yang seharusnya menjadi wilayah tidurku kosong. Sang papa, suamiku, tidur secara vertikal di bagian yang lain menghadap ke arah ruang keluarga, dimana aku tengah berada. Terdengar dengkuran halus dari bibirnya, pertanda kelelahan kata orang tua. Memang, setelah selesai bekerja kemaren sore seperti biasa ia langsung menjemput putri kami di hoikuen (sekolah setingkat taman-kanak-kanak), lalu menyuapinya makan dengan nato (sejenis makanan khas di Jepang, terbuat dari kedelai) kegemaran anakku. “Hanya setengah porsi”, katanya padaku kemudian, ketika kami harus makan di luar malam itu. Merayakan kelulusanku setelah melewati final defense, presentasi akhir mempertahankan penelitianku untuk mendapatkan gelar doktor. Setelah semua persiapan yang amat melelahkan bagiku, profesorku dan juga suamiku.

***

Suamiku adalah orang pertama yang ingin kukabari akan berita kelulusanku. Kuingat sore itu, ketika baru saja aku akan menulis email ke telepon genggamnya, suamiku sudah lebih dahulu menghubungiku lewat telepon seorang teman. Mengucapkan selamat. Hatiku bergetar ketika suaranya terdengar bahagia, lega. Perjuangan kami kini telah membuahkan salah satu hasilnya.

Ya, ini adalah perjuangan kami. Karena aku tak akan bisa menjalani semua ini tanpa dukungan, pengertian dan dorongannya. Padahal rasanya baru kemaren suara-suara itu terdengar olehku.

“Hen, kamu harus hati-hati, kamu kan mau S3, jangan nikah dulu deh…, gimana kalau suamimu nanti langsung pengen punya anak, sementara kamu harus pergi keluar negeri sendiri…?” kata seorang seniorku, ketika aku menjalani pendidikan S2 di Bandung dan tengah kebingunan dengan pilihan melanjutkan studi saja dulu, atau menikah sesuai permintaan Ibuku sambil tetap melanjutkan studi.

“Ibu sempat berdiskusi dengan teman-teman tentang rencanamu untuk menikah sebelum berangkat ke Jepang. Kamu kan masih muda, cantik dan pintar, nggak usah khawatirlah soal jodoh. Sekolah saja dulu, dan pria-pria akan berlomba ingin menyuntingmu…”, Ibu Tjadra, salah seorang dosen di laboratoriumku memberikan saran ketika kuminta pendapatnya. Dosenku yang satu ini amat lembut dan baik hati, jadi aku pun merasa dekat seperti berteman saja.

“Nggak usah nikah dulu atuh Hen…, calonmu dari IKIP? Belum mau melanjutkan lagi? Lihat deh nanti kalau kamu sudah doctor, beda gerak... Pasti deh kamu pengen sama doctor juga!” Ibu Ria, dosen biostatistikku yang campuran sunda-batak itu ikut pula menyumbangkan pendapat. Lengkap dengan gaya khasnya berbicara ketika kami berjalan bersama di koridor kampus suatu siang. Aku tersenyum melihat gaya beliau tapi belum yakin untuk setuju dengan pendapat seperti itu. Tidak kuberikan komentar apa-apa saat itu.

Belum lagi 'serangan' keluarga suamiku bagi dirinya. “Benar nih, mau menikah dengannya? Kamu nggak takut kalau pendidikannya diatasmu? Bagaimana kalau nanti dia ngelunjak dan jadi berkuasa? Apa enak jadi suami dikomandoi istri?” dan berbagai kecurigaan lainnya terhadap rencananya untuk menikahiku.

Untunglah aku tidak terpengaruh dengan berbagai pendapat yang muncul, karena telah kupasrahkan pada-Nya segala. Berdoa agar diberikan jalan terbaik jika memang ialah jodohku. Saat itu aku baru saja menyelesaikan sidang akhir program master. Sementara suamiku telah mempunyai penghasilan dari usaha kecilnya. Kami tak tinggal sekota, tapi berasal dari desa yang sama sehingga aku dan keluarganya telah saling kenal sejak lama.

Tuhan mendengar doaku dan membuatku dengan lapang dada menerima ketika ia mengurus semua keperluan untuk pernikahan bersama keluargaku di Padang. Sementara itu aku hanya menerima konfirmasi lewat telepon dan bisa terus mengurus persiapan wisuda dan dokumentasi untuk berangkat ke luar negeri.

Kini, ketika aku berhasil juga menyelesaikan studiku, perjalanan rumah tangga kami telah mencapai umur 7 tahun. Dengan menjaga prinsip saling terbuka, saling percaya, saling menghormati dan berpedoman pada tuntunan pernikahan dalam Islam, aku selalu berusaha memposisikan diri sebagai istri yang patuh pada suami dan sebagai ibu yang baik bagi anak kami semata wayang. Berkat pengorbanannya dan tolerasi suamiku atas berbagai keterbatasan yang kumiliki, Alhamdulillah tidak ada kendala berarti dalam hubungan kami.

***

Hari beranjak subuh. Kupuaskan diri menatap suamiku yang sekarang masih tertidur pulas, tapi dengkurannya sudah tak ada lagi. Wajah yang kukasihi, kuhormati dan yang selalu mengasihi keluarganya dengan tulus. Yang beberapa hari terakhir ini merelakanku untuk tak memasakkan makanan kesukaannya. Atau tak protes kalau kumasakkan sekaligus lebih banyak, lalu tinggal dipanaskan untuk beberapa kali makan. Selebihnya aku telah membeli makanan instan atau mengajaknya makan di kantin kampusku.

Terkadang ia malah sengaja menyuruhku ke kampus secepatnya, karena tahu profesorku sedang menunggu. Bahkan dua hari terahir ini, saatku bangun di pagi hari, suamiku telah menyediakan satu set makanan instan, bekal ke kampus untukku. Rupanya setelah selesai bekerja pagi itu, ia sempat pula membereskan hal-hal kecil lainnya di dapur. Padahal setelah itu ia harus berjuang sendiri mempersiapkan anak kami yang balita untuk pergi sekolahnya. Aku sendiri sudah harus di kampus sejak sangat pagi belakangan ini, untuk menemui profesorku yang datang lebih pagi lagi, khusus untuk persiapan ujian akhirku. Suamiku juga ikut-ikutan tegang sepertiku ketika jadwal ujian tinggal hitungan jam. Dan saat mengetahui kelulusanku, ialah yang paling senang dan bahagia.

Untuk semua ketulusan ini, apakah aku sebagai istri akan bersikap lancang padanya? Apakah lantas aku akan menganggapnya rendah karena tak ikut melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi akan tetapi memilih bekerja untuk menafkahi keluarga? Aku tak melihat adanya hubungan antara gelar yang akan kusandang dengan posisinya sebagai pemimpin keluarga. Apakah aku akan besar kepala atau merasa lebih tahu dan hebat? Jawabnya hanya TIDAK.

Untuk segala pengertiannya akan kuberikan seluruh pengertianku. Untuk semua kesabarannya akan kulatih terus sabarku. Untuk segala cintanya akan kuberikan seluruh cintaku. Ini sudah menjadi tekadku sejak dahulu, saat memutuskan bersedia menjadi pendaping hidupnya. Nyatanya, semakin hari semakin bertambah kekagumanku padanya. Semakin tinggi rasa hormatku baginya.

“Ya Robbi, jadikanlah aku wanita yang sabar, sholehah dan berbakti pada suamiku, mencapai ridha-Mu…”, doaku selalu, teringat akan sabda Rasul yang pernah kubaca:

Dari Ummu Salamah, “Sesungguhnya Nabi Saw. telah bersabda, “Barang siapa di antara perempuan yang mati dan ketika itu suaminya suka (rela) kepadanya, maka perempuan itu akan masuk syurga”. (Riwayat Ibnu Majah dan Tirmizii).

***

“Uda…, banguun…”, bisikku pelan, enggan membangunkannya karena ia tampak amat nyenyak tertidur. Namun perlahan lelaki pujaan itu bangun dari istirahatnya dan segera ke kamar mandi untuk berwudhu.

Setelah shalat subuh berjamaah, kucium tangannya, saling bermaafan. Saat-saat indah yang selalu kutunggu setiap hari, karena kesibukanku biasanya membuat kami hanya bisa berjamaah disaat subuh dan isya saja.

Hari masih gelap, tapi suamiku telah siap untuk berangkat bekerja setelah meminum kopi susu buatanku.

“Assalamualaikum…”, ucapnya saat membuka pintu dan melangkah keluar.

Setelah menjawab salamnya, aku masih mematung di depan pintu. Merenungi kepergian belahan hati untuk mengadu nasib bagi keluarga, seperti yang selama ini dengan tulus ia lakoni.

Ya Allah… lindungilah suamiku, dan semoga setiap helaan nafas kasihnya pada keluarga akan selalu menjadi ladang ibadah pula baginya disisi-Mu. Amin…

Dari Abu Hurairah. Ia berkata,“Rasulullah Saw. telah memberi pelajaran. Sabda beliau, “Mukmin yang sempurna imannya ialah yang paling baik pribadinya, dan sebaik-baiknya pribadi ialah orang yang paling baik terhadap istrinya”. (Riwayat Ahmad dan Tarmizi).

Kanazawa, Agustus 2005 ( Wrm-indonesia.org)

No comments:

ilmu adalah investasi tiada henti