ikatlah ilmu dengan menuliskannya"sanitomichie"

Monday, August 27, 2007

Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi

Brain Drain” dan Kebangkitan Bangsa
Oleh ARY GINANJAR AGUSTIAN

ADA sebuah pepatah Cina yang intinya menyatakan kalau bangsa mau sukses, yang harus dilakukan adalah membangun SDM-nya. Kebangkitan nasional adalah hasil dari cemerlangnya kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia pada awal tahun 1900-an.

SDM unggul yang mampu menjadi agen perubahan, seperti Dr. Wahidin Sudiro Husodo, lahir dari sistem pendidikan yang terarah dan terukur. Pertanyaannya, bagaimana dengan SDM dan sistem pendidikan kita dewasa ini?

Setelah generasi para "Bapak Bangsa" berlalu, sistem pendidikan nasional kita tak kunjung tuntas dan jelas. Ungkapan "ganti menteri, ganti kebijakan" terus berlaku. Akibatnya, kualitas anak didik tak bisa diunggulkan. Untuk mendapatkan pendidikan berkualitas banyak pelajar dan mahasiswa kita "lari" ke luar negeri, termasuk yang disponsori negara dengan jumlah ribuan tiap tahunnya.

Tetapi, dengan alasan minimnya kesempatan, pekerjaan, dan kurangnya penghargaan yang layak, setelah lulus mereka enggan kembali ke tanah air. Banyak putra Indonesia yang jenius, memilih hidup di luar negeri. Fenomena itu disebut brain drain (hengkangnya otak-otak cemerlang).

Ketidakpulangan mereka jelas merugikan bangsa dan negara. Terutama yang berangkat dengan beasiswa negara, yang berasal dari pajak rakyat. Berapa banyakkah otak cemerlang Indonesia yang menyeberang? Indonesia tidak punya data lengkap. Sebagai perbandingan, dalam konferensi PBB untuk perdagangan dan pembangunan (1996) disebutkan, paling tidak benua Afrika kehilangan 60.000 tenaga terampilnya antara tahun 1985-1990 atau hampir senilai US$ 12 miliar (sekitar Rp 110 triliun).

Mereka adalah aset bangsa, SDM yang unggul. Akan tetapi, di negeri sendiri, para cerdik pandai itu merasa tidak bahagia lahir dan batin. Bayangkan, gaji peneliti lulusan program doktoral (S-3) hanya Rp 1,5 juta per bulan, lebih rendah dari gaji sopir busway yang mencapai Rp 3 juta per bulan.

Demikian pula penghasilan guru besar di perguruan tinggi negeri hanya Rp 2,5 juta per bulan, lebih kecil dari beasiswa yang didapat 15 tahun lalu sebesar US$ 600 (sekitar Rp 5,5 juta). Dengan kenyataan itu, jelas, mereka tidak mendapatkan kebahagiaan emosi maupun fisik karena tidak mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang layak.

Majalah Gatra terbitan 10 Oktober 2003 pernah mewawancarai salah seorang dari mereka, Dr. T, yang mengaku sangat ingin pulang ke Indonesia dan berkarya di negeri sendiri. Selain mengajukan syarat gaji dan bidang keilmuan yang cocok, "Saya cuma minta fasilitas laboratorium yang memadai dengan akses internet, serta komitmen untuk membantu pengembangannya," katanya. Dengan itu saja tanpa perlu fasilitas rumah dan mobil, maka vocation (panggilan jiwanya) akan terpenuhi.

Bagaimana untuk mengatasi hal ini? Sebelum berangkat ke luar negeri, sebaiknya mereka diberikan pembekalan mengenai komitmen spiritual hingga memahami makna kehidupan tertinggi. Tak lupa komitmen emosional agar memiliki wawasan kebangsaan (nasionalisme). Jadi, mereka tidak hanya mengandalkan komitmen intelektual yang berorientasi pada materi belaka.

Gerakan repatriasi, yaitu kembalinya SDM kita ke pangkuan ibu pertiwi, harus dimulai. Taiwan telah melakukannya, dan kini produk domestik brutonya (GDP) per kapita di atas US$ 20.000 per tahun. Di India, sejak awal 2000 sampai kini, diperkirakan 35.000 warganya pulang, dan India sekarang melaju menyusul Cina.

Thailand membuat program "Reserve Brain Drain" dengan iming-iming gaji dua kali lipat standar domestik. Di Pakistan, Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, Prof. Attaur Rahman, meningkatkan insentif mereka sebesar empat kali gaji menteri. Ayo, pulangkan para putra bangsa yang bersinar, untuk sebuah "Indonesia Emas"! ***kutipan dari HU PR Bdg

ilmu adalah investasi tiada henti