ikatlah ilmu dengan menuliskannya"sanitomichie"

Sunday, June 10, 2007

Ketika Setan Jadi Pahlawan

Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (al-Baqarah: 286)



Ketika Setan Jadi Pahlawan
Ketika guru itu hampir frustrasi karena sekolah budi pekerti yang dibukanya ternyata tak membuat seorang pun berminat untuk menjadi muridnya, suatu hari datanglah setan mendaftarkan diri.
Tentu saja guru itu terkejut! Apa yang sesungguhnya terjadi sehingga setan yang satu ini datang dan ingin berguru budi pekerti kepadanya? Bukankah setan adalah makhluk jahat yang menghembuskan kejahatan ke dalam diri manusia sehingga ia tidak lagi punya budi pekerti? Guru itu merasa gugup dan takut, terlebih ketika setan itu memaksa agar ia diterima sebagai muridnya. Tapi di tengah ketakutannya, guru tersebut masih sempat bertanya tentang alasan mengapa setan yang satu itu ingin belajar budi pekerti.

Teriakan Antiperang dari Tubuh Tony Broer
Tubuh-tubuh merangkai membentuk lingkaran. Dalam posisi tidur, kepala dan sebagian besar wajahnya dibalut kain. Cahaya lampu melingkari tepat sebesar lingkaran tubuh. Tak ada kata atau desah napas sedikit pun, semuanya terbujur kaku. Lewat tayangan foto-foto slide dan film dokumenter perang di layar putih, tubuh-tubuh korban perang tampak bergelimpangan di mana-mana. Besamaan dengan itu ilustrasi musik memperkuat dan mengantarkan aroma kegetiran, kehancuran, dan kematian. Tubuh-tubuh itu lahir, tubuh-tubuh itu bangkit, tubuh-tubuh itu mengerang, menggeliat penuh kewaspadaan dan protes.



Perempuan Kedua
Cerpen LABIBAH ZAIN

Perempuan berumah di ujung gang itu benar-benar membuat sekujur tubuhku tegang. Cara bicaranya yang lembut, membuat aku kalang kabut. Sungguh aku tak mengira akan jatuh cinta macam anak-anak SMA.

Aku bertemu perempuan itu, ketika menghindari tabrakan dengan ojek. Motor yang aku kendarai dengan memboncengkan Dina, anak perempuanku itu, terjerembab di salah satu got, dekat rumahnya. Tangis anakku yang meraung-raung, membuat perempuan itu datang menawarkan bantuan. Gini, nama perempuan itu. Dia menggandeng Dina ke rumahnya dengan kasih sayang seorang ibu.

Aroma sabun wangi badan Gini tercium tanpa sengaja olehku, ketika dia memberikan secangkir air putih.

Sejak pertemuan itu, hidupku tak tenang. Aku mulai membanding-bandingkan keadaan perempuan itu dengan Gami, istriku. Seandainya istriku bisa serapi Gini, pastilah aku tambah betah di rumah. Seandainya perut istri serata Gini, pastilah aku tak harus mencari-cari foto-foto wanita setengah telanjang di tabloid jalanan hanya untuk meningkatkan gairahku di kasur. Tetapi, semua membuatku frustrasi. Begitu membuka mata, yang kulihat hanyalah tubuh Gami yang mulai berlemak di sana-sini.

Otakku mulai berputar-putar tak karuan. Bagaimana cara agar aku bisa mengunjungi Gini tanpa ada yang curiga. Sungguh! Dua hari tak bertemu Gini, membuatku seperti orang gila. Mulailah kuatur rencana demi rencana untuk bisa menemuinya.

**

Kucukur habis bulu-bulu yang ada diwajahku. Kusemprotkan minyak wangi di tubuhku. Ah, ternyata aku masih ganteng juga. Kutatap wajahku di cermin. Tak kalahlah dengan Doni Damara, pikirku. Melihat penampilanku, istriku bertanya-tanya. Katanya, aku seperti orang yang sedang puber kedua. Aku bilang saja, semuanya kulakukan karena aku harus foto buat kartu identitas di kantorku besok pagi. Istriku pun tampak paham.

Aku tidak bohong. Memang besok paginya ada acara foto-foto untuk melengkapi kartu identitas perusahaan. Hanya saja, sepulang dari kantor, aku mengajak Dina untuk mengunjungi Gini.

Gini dan dua anaknya, Tono dan Tini menyambut kedatangan kami dengan gembira. Dina langsung bermain sepeda dengan mereka. Aku pun duduk berdua dengan Gini di ruang tamu. Dari percakapan sore itu, aku tahu kalau Gini seorang pengajar bahasa Inggris di salah satu lembaga bahasa. Satu ide melintas. Saat itu, aku meminta Gini untuk memberikan kursus bahasa Inggris buat Dina, karena Dina berumur 4 tahun. Sudah saatnya belajar bahasa Inggris. Gini setuju untuk memberi kursus Dina setiap hari Senin dan Rabu. Ketika pulang ke rumah dan kurundingkan dengan Gami tentang kursus itu, dia tak keberatan sedikit pun.

Sejak itu, hari Senin dan Rabu merupakan hari yang sangat kutunggu-tunggu. Kursus hanya berlangsung selama satu jam saja, tetapi Dina selalu meminta untuk tinggal di rumah Gini agak lama, karena dia ingin bermain bersama Tini dan Tono. Jadilah aku punya alasan untuk ngobrol panjang lebar dengan Gini.

Berbicara dengan Gini, aku serasa menemukan masa mudaku lagi. Ternyata Gini suka puisi. Lantaran bicara puisi-puisi Gibran, kami menjadi semakin akrab dan terbuka.

Gini juga bercerita tentang seorang duda, yang menjadi direktur lembaga bahasa tempat ia bekerja itu, beberapa kali memintanya untuk menjadi istrinya. Bagi Gini, penampilan duda itu tak menarik. Dia lebih suka lelaki yang suka menghadiahinya puisi, seperti almarhum suaminya.

Tahu akan hal itu, aku pun getol menghadiahi satu puisi buat Gini setiap pagi. Puisi itu aku serahkan sebelum aku pergi ke kantor. Sepulang kerja, aku pun sering mampir ke rumahnya hanya untuk mencekoki Gini dengan kata-kata yang menghiba-hiba tentang penderitaanku sejak menikahi Gami.

"Jangankan merawat anak dan suami, merawat diri pun dia tak mampu. Daster kumalnya menjadi pemandanganku sehari-hari. Makanan hambar alakadarnya menjadi menuku sehari-hari. Tempat tidur bau ompol anak, menjadi alas tidurku sepanjang malam. Dengkuran istriku menjadi musik pengantar tidurku. Secangkir teh atau kopi sepulang kerja hanyalah impian. Aku sangat menderita!"

Gini memandangku dengan muka murung. Sepertinya aku sudah berhasil menarik simpatinya dengan rahasia-rahasia rumah tanggaku.

''Seandainya istriku itu adalah kamu, Gini…… ''

Pipi Gini merona. Matanya berkejapan. Aku merasa terbang ke langit ketujuh. Seperti berdendang, kata-kata itu terus ku ulang-ulang.

Lama-kelamaan, aku punya keyakinan, kalau Gini juga menaruh perhatian terhadapku. Oleh karenanya, dengan mengumpulkan segala keberanian, aku menyatakan cinta di beranda rumahnya! Gini tersentak. Tetapi di wajahnya, aku melihat kebahagiaan yang menggelegak.

Dia berkata, "Mas ‘kan sudah punya istri...."

"Tapi kau kan tahu kalau aku menderita?"

"Selesaikan baik-baik hubungan Mas dengan Isteri. Kalau memang Mas tak bahagia, Mas harus menceraikannya secara baik-baik atau minta izin kepadanya untuk menikahiku."

Aku bersorak. Masalah dengan istriku? Gampanglah diatur.

Dengan hati berbunga-bunga, aku pulang ke rumah. Begitu malam tiba, kutidurkan Dina sebelum jamnya. Setelah itu, aku mulai mencumbui Gami seperti layaknya pengantin baru. Usai bercinta, kubuatkan istriku mi goreng instant. Sepiring berdua kami makan bersama. Selama dua minggu kami tampak mesra. Gami menatap curiga tetapi dia tampak bahagia.

Pada minggu ketiga, mulailah aku bercerita tentang banyaknya orang-orang yang perlu disantuni. Anak yatim dan janda yang terlunta-lunta. Gami yang mudah tersentuh sangat terharu, tetapi menjadi pilu ketika aku mulai mengemukakan pintu surga bagi istri yang merelakan suaminya menikahi janda miskin.

Dari tatapan matanya, aku tahu hatinya teriris. Tapi tekatku tak terkikis. Kupeluk dia. Di telinganya, kubisikan betapa aku mencintai dia dan berjanji semuanya takkan berubah. Istriku menatapku. Dia bilang, dia ingin bertemu Gini. Aku pun setuju. Kucium keningnya. Kuusap-usap rambutnya sampai dengkurnya terdengar. Malam itu, dia terlelap di pelukanku.

**

Akhirnya di rumahku, kedua perempuan itu bertemu. Dari jendela rumahku, aku bisa melihat kalau istriku tampak tegang dan Gini tampak salah tingkah. Tetapi, beberapa saat kemudian mereka bersalaman, mulai bicara dan akhirnya tertawa-tawa. Sejak itu, keduanya memang tambah akrab. Aku lega. Hajadku ada di depan mata!

**

Pagi ini, ketika aku hendak menyelipkan satu puisi di rumah Gini, aku mendapati rumah Gini lengang. Suara keributan anak-anak Gini karena hendak bersiap-siap berangkat ke sekolah, tak kudengar.

Kuketuk rumahnya berkali-kali. Tak ada yang menjawab. Aku semakin keras mengetuk pintunya. Sepi!

Kugedor dan kugedor lagi pintunya. Kali ini, Ibu Karto, tetangga sebelah rumahnya, muncul dan mengabarkan bahwa Gini dan anak-anaknya pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan pernikahannya dengan direkturnya!

Gini, perempuan ranum yang hendak kujadikan istri keduaku, hendak menikah tanpa memberitahuku sama sekali.

Kurasakan perasaan tersinggung mulai menggelegak di dadaku! Dalam keadaan limbung, aku ingat istriku. Perempuan setia yang selalu menerimaku apa adanya. Boleh jadi tubuhnya menjadi tak terawat, karena waktunya habis buat mengurus rumah tangga dan uang belanja yang kuberikan dihabiskannya buat urusan keluarga daripada untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba, aku ingin memeluk istriku dan meneriakkan betapa tak ada perempuan lain yang lebih aku butuhkan di dalam hidupku selain dirinya.

Sepeda motor pun kukebut dengan kecepatan tak kira-kira. Sampai di rumah, kembali aku terpana. Kudapati rumahku tak berpenghuni. Kuperiksa pot tanaman, tempat Gami biasa menyimpan kunci kalau dia harus pergi. Di situ kutemukan kunci rumahku dan sepucuk surat.

Mas Poly,

Merangkai kata, aku memang tak pandai tetapi semoga yang akan kusampaikan ini bisa kau mengerti.

Beberapa bulan yang lalu, ada seorang pria yang perhatiannya membuatku berbunga-bunga.

Tetapi kemudian aku sadar bahwa cinta itu seperti tanaman. Dia bisa mati kalau kita tak merawatnya. Nah! Cinta yang kita bina sudah layu! Hampir mati! Kalau aku mencoba merawat tanaman lain, bagaimana mungkin aku bisa yakin kalau dua-duanya tak mati? Sedang merawat satu tanaman saja, aku tak bisa?

Oleh karenanya, aku memutuskan untuk merawat cinta kita dan mematikan cinta-cinta yang lain. Bagiku keluarga berada di atas segala-galanya.

Tetapi, takdir bicara lain. Mas memilih hendak membawa tanaman lain dengan cara menikah lagi. Bagiku, dua orang istri terlalu banyak dalam satu pernikahan dan susah bagiku untuk berbagi perasaan. Daripada aku tertekan, akhirnya kuputuskan untuk melayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama. Dengan demikian, kita bisa berbahagia dengan merawat satu cinta di keluarga masing-masing. Mas menikah dengan Gini. Aku pun akan bahagia karena Mas Mono, tetangga kita yang pernah memberikan perhatiannya kepadaku itu, berjanji akan menikahiku begitu selesai masa idahku.

Salam Gami

Aku merasa tubuhku dipukul-pukul dengan martil hingga lenyap terkubur rencana-rencanaku sendiri. Kupandangi rumah Mono. Tiba-tiba, aku ingin membunuh perjaka tua itu!***

Januari, 2007


Tan Boen Kim dan Tragedi Sang Pelacur

Cerita Fientje de Feniks yang ditulis oleh Tan Boen Kim memang fenomenal dan menginspirasi banyak penulis. Salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer. Ia mengadaptasi kisah nyata kematian pelacur Indo kelas atas yang legendaris ini ke dalam alur cerita Rumah Kaca (1988).
Dalam novel terakhir dari tetralogi Pulau Buru itu, nama Fientje de Feniks diubah menjadi Rientje de Roo.

Jumat, 17 Mei 1912. Batavia gempar. Sesosok mayat wanita muda ditemukan membusuk di Pintu Air Kali Baru.

Tubuh si mayat berada di dalam karung beras yang mengambang. Kedua tangannya terikat. Melihat keadaannya, tidak diragukan lagi bahwa wanita muda yang telah menjadi mayat itu adalah korban pembunuhan.

Pada bulan-bulan berikutnya, diketahui bahwa mayat itu bernama Fientje de Feniks. Seorang wanita Indo berumur sekitar dua puluh tahun yang berprofesi sebagai "nona goela-goela" alias pelacur. Ia tercatat sebagai anggota dari "roemah plesiran" yang dikelola oleh mantan pelacur kelas atas bernama Jeanne Oort.

Setelah dilakukan penyelidikan oleh polisi, pembunuhnya diketahui adalah seorang pria Belanda. Namanya Willem Frederik Gemser Brinkman. Pria ini dikenal sebagai seorang hartawan yang berstatus sebagai pegawai Gouvernement Bedrijven. Ia adalah pelanggan sang pelacur.

Brinkman membunuh Fientje karena cemburu. Asal mula permasalahannya muncul, ketika ia menggundik wanita itu dan menyuruhnya untuk tidak melacurkan diri lagi. Namun, Fientje tetap melakukan profesinya. Brinkman lalu memergoki nyai-nya bersama pria lain. Ia menjadi panas hati dan pembunuhan yang terencana pun terjadi.

Kasus ini kemudian dibawa ke Raad van Justitie. Proses peradilannya memakan waktu dua tahun. Brinkman dan puluhan saksi dihadirkan dalam persidangan. Sang tersangka dibela oleh pengacara terkenal Mr. Hoorweg. Dengan didampingi pembela yang piawai, Brinkman dinyatakan tidak bersalah.

Kasus yang menggemparkan ini terus menjadi pembicaraan masyarakat Batavia. Koran-koran terus memuatnya sebagai berita utama. Raad van Justitie pun mencatat proses persidangannya secara cermat dan teliti. Dengan data yang berlimpah, tak heran apabila kematian Fientje de Feniks ini menjadi satu di antara banyak kejadian nyata yang dibukukan sebagai novel pada dekade awal abad ke-20.

Memang, sastra Melayu-Rendah mulai membangun tradisi sejak munculnya Hikayat Nyai Dasima pada 1896. Kejadian nyata yang sensasional sering diangkat menjadi tema cerita dalam novel.

Umumnya, kejadian nyata itu berupa kasus-kasus pembunuhan. Hal ini berlangsung setidaknya hingga 1930-an. Tak aneh apabila novel-novel pada masa itu lazim mengidentifikasikan diri sebagai "satoe tjerita jang betoel soeda terdjadi".

Pembunuhan Fienjte de Feniks yang sensasional itu dibukukan menjadi novel berjudul Nona Fientje de Feniks, atawa djadi korban dari tjemboeroean. Edisi pertama novel ini diterbitkan tahun 1915. Penulisnya adalah seorang Tionghoa peranakan bernama Tan Boen Kim (TBK).

Di dalam buku Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: a Provisional Annotated Bibliography (1981), Claudine Salmon mengatakan bahwa TBK dilahirkan pada 1887. Tidak diketahui apakah TBK mendapat pendidikan formal atau tidak. Namun yang pasti, ia adalah seorang jurnalis yang berpengalaman.

Pria ini pernah menjadi direktur harian Tionghoa peranakan Thjioen Thjioe di Surabaya 1916. Setahun kemudian, ia bekerja sebagai editor mingguan Ien Po di Batavia. Tahun 1926, TBK hijrah ke Palembang selama beberapa bulan dan bekerja untuk mingguan Kiao Po.

Tulisan-tulisan TBK terkenal sangat tajam dan kritis. Ia sering keluar masuk penjara karena buah penanya. Tak jarang, ia dianiaya oleh orang-orang yang tidak meyukai tulisan-tulisannya. Oleh karena itu, TBK menjadi terkenal sebagai orang yang kenjang dibatjok dan keloear masoek pendjara.

Nona Fientje de Feniks adalah novel TBK yang paling sukses. Karyanya ini adalah perpaduan antara keakuratan data dan kelincahan bercerita. Kesuksesan novel tersebut telah membuat TBK menulis kelanjutan ceritanya: Njai Aisah atawa djadi korban dari rasia dan G. Brinkman atawa djadi korban perboeatannja. Kedua novel ini juga diterbitkan pada 1915.

Seperti halnya novel pertama, kedua sekuel ini pun diangkat dari kisah nyata yang merupakan kelanjutan kasus Fientje de Feniks. Ceritanya seputar kisah hidup Brinkman yang menjadi buronan polisi setelah dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan pembunuhan Fientje.

Setelah sekian lama menjadi pelarian karena melakukan perampokan-perampokan dan pembunuhan terhadap Aisah, istri dari salah satu anggota komplotannya, Brinkman akhirnya tertangkap dan diadili. Ia divonis hukuman mati. Di ujung cerita, ia dikisahkan melakukan bunuh diri di penjara. Kematian Brinkman mengakhiri cerita berantai Fientje de Feniks.

Kedua novel lanjutan ini juga terbilang sukses. Dengan latar belakang kesuksesan itu, pada 1916 TBK menggabungkan trilogi Fientje de Feniks-nya ke dalam satu buku. Akan tetapi, ceritanya tidaklah lagi berbentuk prosa melainkan dalam bentuk syair. Buku itu berjudul Sair Nona Fientje de Feniks dan sekalian ia poenja korban jang bener terdjadi di Betawi antara taon 1912-1915.

Cerita Fientje de Feniks yang ditulis oleh TBK memang fenomenal dan menginspirasi banyak penulis. Salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer. Ia mengadaptasi kisah nyata kematian pelacur Indo kelas atas yang legendaris ini ke dalam alur cerita Rumah Kaca (1988).

Dalam novel terakhir dari tetralogi Pulau Buru itu, nama Fientje de Feniks diubah menjadi Rientje de Roo. Wanita ini juga dikisahkan menjadi seorang pelacur yang dibunuh. Bedanya, Pram mengisahkan Rientje de Roo memiliki seorang pelanggan bernama Jacques Pangemanann yang menjadi tokoh utama cerita.

Ketika Rientje dipanggil untuk "dipakai", Pangemanann mendengar kabar bahwa bahwa sang pelacur telah mati. Tidak diceritakan siapa pembunuhnya dan bagaimana kelanjutan kasusnya. Cerita Rientje hanya dipaparkan sebatas hubungannya dengan tokoh utama. Akan tetapi, kisah kematian yang diselipkan ini turut membangun cerita utama Rumah Kaca secara keseluruhan.

Selain Pram, penulis lain yang tampaknya terinspirasi oleh karya TBK ini adalah seorang pria berkebangsaan Belanda bernama Peter van Zonneveld. Ia menulis buku De Moord op Fientje de Feniks (Pembunuhan Fientje de Feniks) yang diterbitkan pada 1992.

Kesuksesan trilogi Fientje de Feniks dan buku syairnya ternyata tidak berbanding lurus dengan kehidupan sang penulis. TBK menjalani tahun-tahun terakhir kehidupannya dalam kemelaratan. Ia diketahui tinggal menumpang dalam sepetak ruangan Jinde Yuan, salah satu kelenteng tertua di Jakarta hingga akhir hayatnya. Sungguh sangat ironis.

Untungnya, satu perhargaan tak terhingga diberikan kepada TBK oleh Leo Suryadinata. Sinolog terkemuka ini mengabadikan riwayat hidup TBK di dalam bukunya Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches (1995).

Lewat buku yang berisi biografi orang-orang Tionghoa peranakan terkemuka ini, Leo menyatakan bahwa TBK adalah seorang Tionghoa peranakan yang unggul di bidangnya. Penilaian ini bukan tanpa alasan.

Kesuksesan menulis trilogi Fientje de Feniks menjadi salah satu pertimbangannya. Selain itu, produktivitas TBK dalam menulis juga menjadi nilai tambah. Ia tercatat telah menghasilkan lebih dari 20 karya selama periode 1912-1933. Umumnya, karyanya berupa novel yang diangkat dari kisah nyata.

TBK memang telah meninggal pada 1959. Namun, kisah tentang tragedi sang pelacurnya tetap hidup dan menginspirasi banyak orang.*** Pikira Rakyat.9 juni 07

IRAWAN SANTOSO S.B.
Penulis, tinggal di Bandung


myspace icons
Myspace Icons





1 comment:

Anonymous said...

Many thanks how I can thank you?

ilmu adalah investasi tiada henti