Beramal Saleh Tanpa Mengharap Imbalan
Oleh : Rahmat Hidayat Nasution
Hamba yang bertakwa adalah hamba yang mendengarkan hati nuraninya dan selalu berbuat menurut al-Qur’ an. Di dalam al-Qur’ an, Allah memerintahkan manusia untuk melakukan amal saleh tanpa mengharapkan imbalan keduniaan sedikit pun. Sehingga, tujuan amal saleh yang dilakukan tulus meringankan beban orang lain dari kekurangan dan kesulitan yang menghimpitnya. Larangan yang disitir al-Qur’ an dalam surat al-Muddatsir ayat 6,”Dan janganlah engkau menyebut-nyebut (pemberianmu), karena menginginkan balasan lebih banyak”, benar-benar menjadi pedoman dalam melakukan amal saleh, yaitu untuk mengharap ridho Ilahi bukan untuk mengharap balasan duniawi.
Ikhlas, kunci utama diterimanya amal saleh. Tanpa keikhlasan,hanya kelelahan yang akan dirasakan, sedangkan nilainya menjadi sia-sia, tidak memberikan sedikitpun pengaruhnya bagi pelakunya dan tidak mendapatkan pahala dari sisi Allah. Sungguh, seseorang akan mengalami kerugian di dunia dan akhirat, bila tidak memiliki keikhlasan dalam beramal. Kerana banyaknya amal bukan jaminan di akhirat. Sebagaimana Allah berfirman, ”(Dia) yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu siapa yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67] :2). Berdasarkan ayat di atas, sangat jelas sekali bahwa Allah tidak menilai siapa yang lebih banyak amalnya, tapi yang dinilai adalah amal yang lebih baik. Menurut Fudail bin Iyadh, amal yang lebih baik hanyalah amal yang diiringi keikhlasan dan kebenaran tata caranya. Sesungguhnya amal yang benar namun tidak dilakukan dengan ikhlas tidak akan diterima. Begitu juga sebaliknya, amal yang ikhlas namun tata cara ibadahnya tidak benar, juga tidak akan diterima. Kekhawatiran inilah yang mendorong Umar bin Khaththab untuk selalu mewiridkan doa ini dalam setiap berdoa,” Ya Allah, jadikanlah amalku semuanya saleh dan jangan kau jadikan amal itu untuk seseoarang sedikitpun.”
Memelihara keikhlasan bukanlah hal yang mudah. Ia membutuhkan ikhtiar (usaha) dalam mewujudkannya. Bahkan, usaha yang kita lakukan untuk menjaga keikhlasan jauh lebih sulit ketimbang melakukan amal itu sendiri. Tidak sedikit godaan-godaan dunia yang kerap menyapa kita dalam beribadah sehingga dapat menyelewengkan niat dan tujuan kita, akhirnya amal itu tidak sampai kepada Allah, padahal Allah senantiasa mengingatkan kita ketika membaca kalam-Nya,”Siapa yang ingin bertemu dengan Allah, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. al-Kahfi [18]: 110).
Oleh karena itu, sangat diperlukan usaha yang maksimal, yang salah satunya sering melakukan evaluasi diri (Muhasabah), baik ketika akan melakukan amal ataupun sesudahnya. Merenungkan niat sebelum melakukan amal saleh adalah hal yang sangat dianjurkan. Apakah niat kita semata-mata ikhlas karena mengharap ridlo Allah atau tidak? Bila tidak, maka itulah saatnya untuk merenovasi kembali niat kita. Demikian juga halnya setelah melakukan ibadah, maka sangatlah penting menjaga hati dari agar tidak terkotori oleh “debu-debu” riya dan ujub yang ditiupkan Syaitan, yang dapat menghalangi sampainya amal kita kepada Allah. Hal ini sangat membutuh perjuangan yang berbentuk kesungguhan dan kehati-hatian, karena syetan senantiasa siaga untuk meniupkan was-was ke dalam dada manusia. Salah seorang Tabi’in pernah berujar, “aku akan menjadi manusia yang paling bahagia di dunia ini jika aku mengetauhi bahwa salah satu sujudku (dalam shalat) diterima Allah Swt.”.
Sejatinya, keikhlasan itu dapat memberikan beberapa manfaat bagi manusia: Pertama, menjaga amal manusia. Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa ikhlas merupakan syarat diterima amal saleh. Tanpa keikhlasan, maka amal tidak akan diterima Allah Swt dan tidak ada nilainya di akhirat. Allah Swt. telah menyatakan hal ini dalam surat al-Baqarah ayat 264, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu, dengan menyebut-nyebutnya dan menyakitinya (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpaan itu adalah seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu batu itu menjadi bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu apapun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”. Kedua, Ikhlas dapat memberikan kesan yang mendalam bagi semua orang. Hal ini dapat dilihat dari esensi ikhlas sendiri sebagai ruh amal dan dia akan menjadikan amal itu menjadi begitu hidup sehingga menimbulkan pengaruh bukan hanya bagi pelakunya, tapi juga akan memberikan kesan yang mendalam bagi semua orang. Bahkan, kesan ikhlas juga bisa merupakan kesan tersendiri bagi seoarang para da’i bagi para objek dakwahnya. Setiap kata dan perbuatannya menjadi demikian bermakna meskipun terlihat sederhana. Perkataannya yang biasa-biasa saja namun meluncur dari hati yang ikhlas, itulah yang mampu menyentuh hati dan mengantar para penerima dakwah menuju pintu hidayah dan taufik Allah, bukan perkataan yang dihiasi dengan retorika yang menarik tapi tidak ada nilai keikhlasan. Tidak jarang kita saksikan orang berbicara dengan semangat berapi-api, nada yang tinggi, dan retorika yang hebat, tapi terasa ringan di hati bagai kapas yang mudah terbang ditiup angin. Sangat jauh sekali perbedaannya dengan da’i dengan penampilan sederhana dan gaya bicaranya biasa-biasa, namun pembicaraannya mampu menusuk jauh ke dalam relung hati, sehingga terasa benar bobotnya. Ini tidak lain adalah buah dari berkahnya keikhlasan. Ketiga, keikhlasan juga mampu menjaga kestabilitasan amal seseorang. Hamba allah yang ikhlas tidak akan mudah berkobar-kobar semangatnya hanya karena pujian dan tidak mudah down (lemah) jika ada kritikan ataupun cemohan yang menyapanya. Bagi hamba yang ikhlas, pujian dan kritikan dari manusia tidak ada bedanya, sama-sama tidak ada nilai baginya. Karena semua amal salehnya hanya ditujukan untuk Allah dan menggapai ridlonya, tidak peduli dengan selain itu. Ia tidak akan berani menukar keridloan Allah dengan dengan keridloan manusia, apalagi mencari keridloan manusia dengan sesuatu yang mendatangkan murka Allah. Sebagaimana Rasulullah pernah berpesan,” Siapa yang mencari keridloan manusia dengan sesuatu yang mendatangkan murka Allah, maka Allah akan murka kepadanya dan menjadikan orang yang semula meridhoinya menjadi murka kepadanya. Begitu juga sebaliknya, siapa yang mencari keridloan Allah meskipun manusia murka kepadanya, maka Allah akan menjadikan orang yang semula murka menjadi ridlo kepadanya sehingga Allah memperindahnya, memperindah ucapan dan perbuatanya dalam pandangan-Nya.” Keempat, sabar dan tabah menghadapi ujian. Dengan modal keikhlasan, seseorang tidak akan mudah lelah dalam beramal, tetap tabah dan semangat sekalipun perlbagai ujian datang silih berganti. Seakan-akan ia memiliki cadangan energi yang tidak habis-habis. Ia tetap beramal disaat orang-orang tidak mampu lagi melakukannya. Ia mampu melalu ujian demi ujian dengan jiwa yang lapang di saat orang-orang merasa sempit dadanya.
Demikianlah, karena memang keikhlasan merupakan sumber mata air kekuatan. Keikhlasan itulah sumber kenikmatan yang tidak pernah kering dan bertepi senantiasa memancarkan keutamaan dan keberkahan. Ya rabb...
Penulis adalah mahasiswa universitas al-Azhar Kairo, Mesir, Fakultas Syariah Islamiyah, Tingkat IV, dan Kru media TeROBOSAN Kairo, Mesir.
"Amal apakah yg paling dicintai Allah?" Rasulullah berkata,"yg dikerjakan secara tetap walaupun sedikit." Sabdanya lagi,"Lakukanlah amal perbuatan yang sanggup kamu lakukan" (HR. Bukhori)
1 comment:
Assalamu'alaikum w w, saya jadi diingatkan... karena mungkin saya sering menyebut-nyebut amal... tadinya sih hanya supaya orang tahu sunatullah bahwa Allah itu membalas perbuatan kita... langsung lho... tapi apa itu akan merusak keikhlasan amal kita nggak ya?
Post a Comment