ikatlah ilmu dengan menuliskannya"sanitomichie"

Sunday, May 13, 2007

Lisan Yang Bermutu

Melangkah dalam satu tujuan menuju ridho illahi.


Lisan yang Bermutu

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Seseorang suatu ketika mengeluh 'Saya sudah sering sekali mendengarkan ceramah, menyimak mubaligh yang menyampaikan kebenaran, dan mengkaji sendiri buku-buku tentang ajaran Islam. Akan tetapi, mengapa ketika saya menyampaikanya kepada orang lain, rasa-rasanya kata-kata ini selalu saja tidak cocok dengan yang ada di dalam kalbu? Dan yang Iebih menyedihkan lagi, mengapa kata-kata yang keluar dari lisan ini tampaknya seperti masuk ke telinga kanan keluar lagi dari telinga kiri? Sama sekali tidak menimbulkan kesan dan tidak pula berbekas di dalam pikiran maupun hati orang yang mendengarkannya."

Seandainya saja keluhan tersebut adalah yang juga kita pertanyakan selama ini, maka bisa jadi kata-kata berhikmah dari lman !bnu Atho'illah berikut ini sebagai jawabannya. “Cahaya (nuur) para ahli hikmah (ahli ma'rifat) itu," tulisnya dalam kitab Al-Hikam,

selalu mendahului perkataan mereka. Karenanya, manakala telah mendapat penerangan dari cahaya tersebut maka sampailah kalimat yang mereka ucapkan itu."

Kalimat Ibnu Atho'illah di atas kurang lebih dapat diartikan, bahwa orang-orang yang telah mengenal Allah dengan baik selalu sadar bahwa kebenaran itu milik Allah. Akibatnya, kalau mau mengucapkan sesuatu, selalu hatinya terlebih dahulu berlindung kepada. Allah dari tipu daya syetan dan memohon kepada-Nya agar lidahnya dapat menjadi jalan kebenaran.

Hal seperti inilah yang mungkin jarang dilakukan oleh kebanyakan orang. Biasanya kalau kita ingin menyampaikan sesuatu kepada orang orang lain, kita akan sangat sibuk merekayasa kata-kata yang akan diucapkan. Jarang kita lakukan ketika ingin berbicara, sibuk meminta pertolongan kepada Allah Azza wa JaIla. Padahal, yang mengetahui kebenaran hanyalah Allah. Benar menurut kita belum tentu benar menurut Allah.

Oleh karena itu, ketika kita menghadapi persoalan seperti disebutkan di atas, maka ada beberapa hal yang mesti kita pertanyakan kepada diri sendiri.

Pertama, ketika kita akan menyampaikan suatu kebenaran, pernahkah kita memohon pertolongan kepada Allah agar lisan ini dituntun dan dilindungi, sehingga mengandung hikmah? Kalau belum, maka mungkin inilah penyebab mengapa kata-kata yang kita ucapkan, kendati tak lepas dari dalil Al-Ouran dan Hadits, tetapi tidak pernah mengena dan menyentuh kalbu yang mendengarkannya.

Kedua, sebagaimana kata Ibnu Atho'illah sendiri, 'Tiap-tiap kalimat yang keluar pasti membawa corak bentuk hati (dari orang) yang mengeluarkannya." Teko hanya mengeluarkan isinya. Bila di dalamnya berisi air kopi, maka yang dikeluarkannya past air kopi. Sebaliknya, bila teko tersebut berisi air bening dan jernih, maka pastilah yang dikeluarkannya pun air yang bening dan jernih pula.

Mengapa kata-kata yang kita ucapkan kadang-kadang kurang meresap? Mungkin pertanyaan yang harus segera kita ajukan terhadap hati kita sendiri adalah: ikhlaskah kita menyampaikannya? Kalau hati ini sudah kurang keikhlasannya yang mendengarkan ikhlas, tetapi yang berbicara kurang ikhlas, maka hampir dapat dipastikan kata-kata kita tidak akan memiliki bobot.

Di antara faktor penyebab mengapa kafa-kata kita kurang bisa menyentuh kalbu adalah karena kata-kata yang menyentuh kalbu itu bukanlah hasil rekayasa pikiran dan bukan pula buah rekaan lisan, melainkan wujud dari penataan dan kejernihan hati. Semakin hati kita terus menerus diusahakan ikhlas, tulus, dan penuh kasih sayang, maka kata-kata pun niscaya akan semakin memilki kekuatan menembus hati orang yang mendengarkannya.

Sibuknya kita mengatur kata-kata, peribahasa, ataupun ungkapan-ungkapan yang indah-indah, tetapi kalau tidak bersumber dari hati yang jernih dan bening, maka hanya manis didengar telinga, namun sekali-kali tidak akan pernah menyetuh kalbu.

Jadi, mengapa kata-kata yang keluar dari mulut ini sudah begitu luber dan tumpah ruah berbusa-busa, tetapi orang toh belum bergeming juga? Jawabnya, mungkin karena kita terlalu sibuk mengatur pikiran dan lisan, tetapi tidak sibuk mengatur hati. Padahal, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Belum dinamakan lurus keimanan seseorang itu, sehingga lurus pula hatinya dan belum juga dinamakan lurus hatinya itu, sehingga luruslah lisannya ..." (H.R. Ibnu Abiddunya dan Kharaiti)

Oleh sebab itu, tidak usah heran orang orang yang bijak bestari dan mulia kalau berbicara, kata-katanya sedikit namun mempunyai kekuatan yang besar. Kunci kekuatan kata-kata mereka tiada lain adalah hati yang ikhlas. Karena, bila yang berbicara ikhlas dan yang mendengarkannya pun ikhlas, maka tak ubahnya laksana gelombang radio FM, suaranya akan lezat terasa di telinga dan lezat pula terasa di hati.

Syeikh Ahmad Yasin adalah seorang ulama kharismatik dan mujahid besar yang sangat berpengaruh di kalangan kaum Muslimin dan pejuang Palestina. Siapakah Ahmad Yasin? Ternyata beliau secara syariat hanyalah seorang tua yang sekujur tubuhnya lumpuh, kecuali bagian kepala, akibat sebuah kecelakaan yang dialaminya dalam sebuah latihan perkemahan ketika akfif dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, yang didirikan oleh Imam Hasan Al-Banna di Mesir.

Akan tetapi, siapa pun akan merasa amat tajub dan terkagum-kagum bila mendengar bahwa beliau ternyata adalah tokoh penggerak lntifadah, sebuah gerakan perjuangan jihad melawan tentara Yahudi Israel. Tak hanya para orang tua, tetapi juga para remaja dan anak-anak turun ke jalan-jalan dengan senjata apa saja yang ada di tangan: ketapel, batu-batuan, ban bekas yang dibakar, dan lain sebagainya. Tanpa rasa takut dan bahkan dengan teriakan teriakan "Allaahu Akbar" mereka maju dan berlarian menyerang tentara, Yahudi yang notabene bersenjata lengkap.

Syeikh Ahmad Yasin juga adalah ulama pendiri Hamas (Harakah al Muqawanah a- Islamiyah, Gerakan Perlawanan Islam) yang beranggotakan para mujahidin militan Palestina. Gerakan ini merupakan kekuatan utama dan kelompok mujahid paling berpengaruh serta mengakar di daerah Teo Barat dan Jalur Gaza, yang merupakan wilayah pendudukan Israel.

Masya Allah! Secara syariat apalah artinya seorang Ahmad Yasin yang tubuhnya lumpuh total. Akan tetapi, kecerdasan otaknya, kekuatan imannya, ketajaman lisannya, dan yang terutama sekali keikhIasan hatinya demi menegakkan daulah Isiamiyah di bumi Palestina, telah mampu menggerakkan dan mengobarkan semangat dan kesadaran berpuluh ribu warga Muslim Palestina untuk berjihad di jalan Allah melawan kaum kuffar Yahudi.

Kuncinva, sekali lagi, ternyata hati yang ikhlas, sehingga lisan ini menjadi sangat bermutu dan mempunyai bobot yang amat mengesankan.

Karenanya, ketika seseorang datang kepada ulama ahli hikmah bernama Muhammad bin Wasi, lalu berkeluh kesah, "Mengapa hati orang-orang sekarang sepertinya tidak lagi mampu khusyuk dan air mata pun tak lagi bisa bercucuran manakala sedang berdoa, menyimak taushiyah, ataupun mendengarkan ayat-ayat AI-Quran dibacakan?", Muhammad bin Wasi tanpa ragu menjawab, "Kemungkinan yang dernikian itu bermula dari engkau sendiri sebab bila nasihatmu keluar dari hati yang ikhlas, niscaya akan masuk ke dalam hati orang yang mendengarkannya. Sebalikinya, nasihati yang hanya berupa gubahan lidah dan buah rekaan pikiran belaka, maka ia akan masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri."

Walhasil, siapa pun yang sangat merindukan dapat tersampaikannya kebenaran dari Allah dan dapat tersemainya nilai-nilai luhur ajaran Islam di daria setiap manusia, sehingga Islam benar-benar dapat dirasakan sebagai rahmatan lil 'alamin, maka tidak bisa tidak harus selalu merenungkan setiap kata-kata nasihati yang pernah atau akan terlontar dari lisannya, dengan satu pertanyaan saja, "Apakah hati saya sudah ikhlas menyampaikannya?" Karena, "Barangsiapa ber iman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata-kata yang baik atau diam!" (H.R. Bukhafi-Muslim)."


Menyikapi Ujian dengan Kesabaran


Oleh : KH Abdullah Gymnastiar
Saudaraku, semoga Allah SWT yang menguasai tubuh kita memberikan karunia kesehatan lahir dan batin. Bersabar ketika diuji sakit dan bersyukur ketika dikarunia sehat. Karena adakalanya seseorang yang diuji sakit terhina karena ketidaksabarannya dan dikala sehat terhina karena ketidaksyukurannya.

Sabar adalah kegigihan kita untuk berada di jalan yang Allah sukai. Sabar ketika sedang diuji sakit, misalnya. Kesabaran seseorang akan tampak dari akhlaq dalam menyikapinya. Tidak jarang orang sakit bicaranya tidak karuan, penuh dengan keluh kesah, emosi. Sungguh sangatlah merugi bagi seseorang yang ketika diuji sakit disikapi dengan emosi. Tetap saja tidak akan menjadikannya sembuh. Lalu bagaimana sikap sabar kita dalam menghadapinya?

Ada beberapa sikap sabar yang bisa kita latih disaat kita diuji sakit. Pertama, sikap berprasangka baik kepada Allah. Diawali dengan menyadari sepenuhnya bahwa tubuh ini bukan milik kita melainkan milik Allah. Mau dijadikan sehat, sakit, itu hak Dia. Walaupun berobat ke dokter, tetap saja semuanya ada dalam genggaman-Nya. Dan kita patut menyadari bahwa setiap sakit yang kita derita pada hakekatnya sudah diukur Allah. Maka biasakanlah untuk mengucapkan, “Inna ilaihi raaji’uun.” Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nyalah tempat kita kembali.

Sikap sadar tersebut akan berbuah keyakinan. Yakin bahwa Allah tidak akan menimpakan suatu penyakit pada kita bila tidak ada hikmahnya. Sehingga kita terpanggil untuk mengintospeksi diri. Mungkin saja sakit yang kita derita karena tidak terpenuhinya anggota tubuh kita akibat dari kelalaian. Seperti memforsir pikiran sehingga kepala menjadi pusing, mengabaikan hak perut sehingga perut menjadi sakit, tidak menyempatkan olahraga sehingga tubuh mudah lemah, dan kelalaian dalam memenuhi hak anggota tubuh lainnya.

Sikap sabar yang kedua yang harus dikuasai yaitu sikap menerima ketentuan Allah. Tidak berkeluh kesah. Keluh kesah adalah tanda-tanda dari ketidaksabaran. Biasanya orang sakit menderita itu bukan karena sakitnya melainkan karena dramatisasinya. Dan itu juga karena kurang bisa menerima ketentuan Allah dan terdorong keinginan untuk dikasihani sehingga orang-orang berempati kepadanya. Oleh karena itu, betapapun parahnya penyakit kita, cobalah untuk memproporsionalkannya.

Sikap ketiga, dengan merenungkan hikmah sakit. Selain sebagai sarana, mengintrospekasi diri juga sebagai pengugur dosa, seperti gugurnya daun dari pepohonan.

Saudaraku, sesungguhnya hidup sukses, mudah mendapatkan pertolongan Allah, dan kemampuan untuk dekat dengan-Nya, hanya dimiliki oleh orang-orang sabar. Untuk itu, jadikanlah sabar sebagai penolong kita seperti halnya shalat yang kita kerjakan.



Meraih Hidayah Allah

Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

Pernah ada seseorang yang matanya ditutup, disuruh berjalan akhirnya menangis. Mengapa? Karena setiap langkahnya penuh dengan keraguan, ia merasa setiap langkahnya selalu beresiko, mungkin terpeleset atau tubuhnya membentur dinding.

Begitulah kira-kira, kalau kita tidak mendapatkan cahaya dalam hidup ini, lalu bagaimana kalau hati kita tidak mendapatkan cahaya kebenaran?

Orang yang tidak mendapatkan hidayah dari Allah, hidup ini terasa lelah, takut, tegang, was-was, cemas, gelisah dan bingung. Orang yang jauh dari agama, dari Alquran apapun yang diberikan Allah kepadanya pasti hanya akan membuat dirinya hina.

Harta, gelar, pangkat, jabatan atau penampilan yang diberikan Allah, kalau tidak diiringi dengan ketaatan kepada Allah pasti akan menyiksa. Hidupnya hiruk-pikuk, rebutan, sikut sana sini, tidak peduli aturan dan etika.

Tetapi kalau kita mendapat hidayah dari Allah, seperti berjalan diterang benderang. Mantap, tidak ada ketakutan pada mereka dan tidak pernah bersedih hati, dia tidak panik dengan dunia ini. Tapi dia aakan merasa galau kalau tidak mampu meyempurnakan apa yang bisa ia lakukan.

Memang, disamping tetap istiqamah dalam meraih hidayah Allah, kitapun harus tetap memanjatkan doa karena langkah awal untuk meraih hidayah ini adalah dengan terus mencari ilmu sekuat tenaga. Karena makin banyak ilmu, maka makin produktif dalam beramal dan makin bening hati kita. Semoga Allah menjaga kita dari dicabutnya nikmat yang mahal, yaitu hidayah.


Menghidupkan Qalbu


Oleh : KH Abdullah Gymnastiar
Kalau ada satu keberuntungan bagi manusia dibandinglkan dengan hewan, maka itu adalah bahwa manusia memiliki kesempatan untuk ma'rifat (kesanggupan mengenal Allah). Kesanggupan ini dikaruniakan Allah karena manusia memiliki akal dan -yang terutama selkali-Qalbu. Inilah karunia Allah yang sangat besar bagi manusia.

Orang-orang yang yang hatinya benar-benar berfungsi akan berhasil mengenali dirinya dan pada akhirnya akan berhasil pula mengenali Tuhannya. Tidak ada kekayaan termahal dalam hidup ini, kecuali keberhasilan mengenal diri dan Tuhannya.

Karenanya, siapa pun yang tidak bersungguh-sungguh menghidupkan Qalbunya, dia akan jahil, akan bodoh, baik dalam mengenali dirinya sendiri, lebih-lebih lagi dalam mengenal Allah Azza wa Jalla, Dzat yang telah menyernpurnakan kejadiannya dan pula mengurus tubuhnya lebih daripada apa yang bisa dia lakukan terhadap dirinya sendiri.

Orang-orang yang sepanjang hidupnya tidak pernah marnpu mengenal dirinya dengan baik, tidak akan tahu harus bagaimana menyikapi hidup ini, apalagi merasakan indahnya hidup. Demikian pun, karena tidak mengenal Tuhannya, maka hampir dapat dipastilkan kalau yang dikenalnya hanyalah dunia ini saja, dan itu pun sebagian kecil belaka.

Akibatnya, semua kaIkulasi perbuatannya, tidak bisa tidak hanya diukur oleh asesoris keduniaan belaka. Dia menghargai orang sernata-mata karena orang tersebut tinggi pangkat jabatan, dan kedudukannya ataupun banyak hartanya. Demilkian pula dirinya sendiri merasa berharga di mata orang, itu karena ia merasa memiliki kelebihan duniawi dibandingkan dengan orang lain. Ada pun dalam perkara harta, gelar, pangkat, dan kedudukan itu sendiri, dia tidak akan memperdulikan dari mana datangnya dan ke mana perginya karena yang penting baginya adalah ada dan tiada.

Sebagian besar orang ternyata tidak mempunyai cukup waktu dan kesungguhan untuk bisa mengenali Qalbunya sendiri. Akibatnya, menjadi tidak sabar, apa yang harus dilakukan di dalam kehidupan dunia yang serba singkat ini. Sayang sekali, Qalbu itu -berbeda dengan dunia- tidak bisa dilihat dan diraba. Kendatipun demikian, kita hendaknya sadar bahwa hati inilah pusat segala kesejukan dan keindahan dalam hidup ini.

Seorang ibu yang tengah mengandung ternyata mampu menjalani hari-harinya dengan sabar, padahal jelas secara duniawi tidak menguntungkan apa pun. Yang ada malah berat melangkah, sakit, lelah, mual. Walaupun demikian, sernua itu toh tidak membuat sang ibu berbuat aniaya terhadap jabang bayi yang dikandungnya.

Datang saatnya melahirkan, apa yang bisa dirasakan seorang ibu, selain rasa sakit yang tak terperikan. Tubuh terluka, darah bersimbah, bahkan tak jarang berjuang di ujung maut. Ketika jabang bayi berhasil terlahir ke dunia, subhanallah, sang ibu malah tersenyurn penuh bahagia.

Sang bayi yang masih merah itu pun dimomong siang malam dengan sepenuh kasih sayang. Padahal, tangisnya di tengah malam buta membuat sang ibu terkurangkan jatah istirahatnya. Siang malam dengan sabar ia mengganti popok yang sebentar-sebentar basah dan sebentar-sebentar belepotan eek bayi. Cucian pun tambah menggunung karena tak jarang pakaian sang ibu harus sering diganti karena terkena pipis si jantung hati. Akan tetapi, masya Allah, semua beban 'derita' itu toh tidak membuat ia berlaku kasar atau mencampakkan sang bayi.

Ketika tiba saatnya si buah hati belajar berjalan, ibu pun dengan seksama membimbing dan menjaganya. Hatinya selalu cemas jangan-jangan si mungil yang tampak kian hari semakin lucu itu terjatuh atau terinjak duri. Saatnya si anak harus masuk sekolah, tak kurang-kurang menjadi beban orang tua. Demikian pula ketika memasuki dunia remaja, mulai tampak kenakalannya, mulai sering membuat kesal orang tua, sungguh menjadi beban batin yang tak ringan.

Pendek kata, ketika kecil menjadi beban, sudah besar pun tak kurang-kurang menyusahkan. Begitu panjangnya rentang waktu yang harus dijalani orang tua dalam menanggung segala beban, namun begitu sedikit balas jasa anak. Bahkan tak jarang sang anak malah berbuat durhaka, menelantarkan, dan mencampakkan kedua orang tuanya begitu saja manakala tiba saatnya mereka tua renta.

Mengapa orang tua bisa demikian tahan untuk terus-menerus berkorban bagi anak-anaknya? Karena, keduanya mempunyai Qalbu yang dari dalamnya terpancar kasih sayang yang tulus suci. Walaupun tidak ada imbalan langsung dari sang anak, namun Qalbu yang memiliki kasih sayang inilah yang membuatnya tahan terhadap segala kesulitan dan penderitaan. Bahkan sesuatu yang menyengsarakan pun terasa tidak menjadi beban.

Oleh karena itu, beruntunglah orang yang ditakdirkan memiliki kekayaan berupa harta yang banyak. Akan tetapi, yang harus selalu kita jaga dan rawat adalah kekayaan batin kita berupa Qalbu ini. Qalbu yang penuh cahaya kebenaran akan membuat pemiliknya merasakan indah dan lezatnya hidup ini karena selalu akan merasakan kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla. Sebaliknya, waspadalah bila cahaya Qalbu menjadi redup karena tidak bisa tidak akan membuat pemiliknya selalu merasakan kesengsaraan lahir batin karena senantiasa merasa, terjauhkan dari rahmat dan pertolongan-Nya.

Allah Mahatahu segala lintasan hati. Dia menciptakan dunia beserta segala isinya ini dari unsur tanah dan itu berarti senyawa dengan tubuh kita karena sama-sama terbuat dari tanah. Karenanya, untuk memenuhi kebutuhan tubuh kita tidaklah cukup dengan berdzikir, tetapi harus dipenuhi dengan aneka perangkat dan makanan, yang ternyata sumbernya dari tanah pula.

Bila perut terasa lapar, maka kita santap aneka makanan, yang sumbernya ternyata dari tanah. Bila tubuh kedinginan, kita pun mengenakan pakaian, yang bisa ditelusuri ternyata unsur-unsurnya bersumber dari tanah. Demikian pula bila suatu ketika tubuh kita menderita sakit, maka dicarilah obat-obatan, yang juga diolah dari komponen-komponen yang berasal dari tanah pula. Pendek kata, untuk segala keperluan tubuh kita mencarikan jawabannya dari tanah. Akan tetapi, kalbu ini ternyata fidak senyawa dengan unsur-unsur tanah, sehingga. ia hanya akan terpuaskan laparnya, dahaganya, sakitnya, serta kebersihannya semata-mata dengan mengingat Allah. Waa bi dzikrillaahi tathmaInnul quluub."[Q.S. Ar-Rad (13): 28]. Camkan, hatimu hanya akan tenteram jikalau engkau selalu ingat kepada Allah.

Kita akan mempunyai banyak kebutuhan untuk fisik kita, tetapi kita pun memiliki kebutuhan untuk kalbu kita. Karenanya, marilah kita mengarungi dunia ini sambil memenuhi kebutuhan fisik dengan unsur dunia, tetapi kalbu atau Qalbu kita tetap tertambat kepada Dzat Pemilik dunia. Dengan kata lain, tubuh kita sibuk dengan urusan dunia, tetapi hati kita harus sibuk dengan Allah yang memiliki dunia. Inilah sebenamya yang paling harus kita lakukan.

Sekali kita salah dalam mengelola hati -tubuh dan hati sama- sama sibuk dengan urusan dunia -kita. pun akan stress jadinya. Hari-hari pun akan senantiasa diliputi kecemasan. Kita akan takut ada yang menghalangi, takut tidak kebagian, takut telegal, dan seterusnya. Ini semua. diakibatkan sibuknya seluruh jasmani dan ruhani kita dengan urusan dunia semata.

Inilah sebenarnya yang sangat potensial membuat redupnya Qalbu kita. Kita sangat perlu meningkatkan kewaspadaan agar jangan sampai mengalami musibah semacam ini. Wallaahu a'lam.
Cetak Kirim Kepada Teman

Istiqamah


Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Mejaga sikap istiqamah dalam ketaatan kepada-Nya memang bukan hal yang mudah. bahkan merupakan hal yang amat sukar dan berat. Ibarat mendaki bukit yang terjal penuh bebatuan yang ujungnya tajam dan tak ada pilihan bagi kaki untuk diinjakan. Sekalipun dipaksa, akibatnya sudah jelas bebatuan itu dengan ganasnya melukai telapak kaki. Dan selanjutnya akan lebih menyengsarakan.

Oleh karena itu, siapapun yang mampu istiqamah dan konsisten dalam melakukaan apapun dari kiprah hidup kesehariannya, hampir dapat dipastikan aakan membuat orang-orang disekitarnya merasa suka dan bahkan segan kepadanya. Seseorang yang Istiqamah dalam memenuhi janji yang pernah diucapkannya, niscaya akan membuat orang menaruh kepercayaan yang tinggi terhadapnya. Seseorang yang Istiqamah mempertahankan prinsip hidupnya yang positif niscaya pula akan tampak ketinggian wibawanya.

Mengapa Allah SWT menyukai hamba-hambanya yang melakukan suatu amalan secara istiqamah kendati amalan itu amat ringan? Jawabnya karena sikap istiqamah itu mahal, tidak banyak orang yang mampu memilikinya. Belum lagi faktor keimanan yang kadang menguat dan kadang melemah. Karenanya Rasulullah pernah bersabda “Jaddiduu limaanakum” (perbaharuilaah iman kamu sekalian). Itu tiada lain karena manusia sering terlalu mudah tergelincir kesikap tidak kosisten dalam mengerjakan suatu amalan.

Maka barangsiapa yang hendak dekat dengan Allah, lakukanlah amalan secara istiqamah. Niscaya Allah Yang Maha Tahu akan melihat kesungguhan kita taat kepada-Nya. maukah kita istiqamah taat?

Cetak Kirim Kepada Teman




1 comment:

Anonymous said...

requirements Discussed below are the [url=http://www.salevivi.com]ルイヴィトン バッグ[/url]Ceramic tile Sanitary Ware Paint [url=http://www.salevivi.com]スーパーコピー 財布[/url]in new model cars Q What must I do if my baby [url=http://www.salevivi.com]ルイヴィトン 通販[/url]coming yearsThe result is therefore http://www.salevivi.com[/url] Package Qing workers that is purchasing all http://www.salevivi.com[/url] terminology and explanatory information

ilmu adalah investasi tiada henti